Pembatasan B3

Berdasaran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.18/MenLHK-1/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seksi pembatasan mempunyai tugas dan fungsi dalam pelaksanaan pembatasan peredaran dan penggunaan bahan berbahaya dan beracun. B3 yang akan dibatasi berasal dari B3 yang terdapat pada daftar B3 yang dibatasi secara Internasional dan/atau masih beredar di Indonesia. B3 ini harus dibatasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia.

Menurut UU No. 32 Tahun 2009, definisi bahan berbahaya dan beracun adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

Industri di dunia telah mengembangkan cukup banyak jenis bahan kimia secara luas dengan lebih dari 143.000 bahan kimia dalam beberapa dekade terakhir (UNEP 2013). Bahan kimia tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari diantaranya untuk kegiatan industri, kesehatan, pangan, pertanian dan sebagainya. Meningkatnya jumlah populasi manusia seiring dengan kemajuan teknologi diberbagai bidang terutama dibidang industri dan pertanian membuka peluang bagi meningkatnya penggunaan bahan berbahaya beracun. Penggunaan bahan berbahaya beracun yang berlebihan akan menimbulkan permasalahan lingkungan dan kesehatan manusia.

Dari jumlah bahan kimia yang diproduksi di dunia, Indonesia hanya menetapkan sejumlah 278 bahan berbahaya beracun yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants) dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001. Dalam peraturan tersebut, hanya terdapat 23 bahan berbahaya dan beracun yang dilarang dan 46 bahan berbahaya dan beracun yang terbatas dipergunakan, serta 209 bahan berbahaya dan beracun yang dapat dipergunakan.

Salah satu contoh bahan berbahaya dan beracun adalah POPs (Persistent Organic Pollutants) dimana keberadaannya di lingkungan tidak mudah dibedakan namun kajian telah menunjukan dosis asupan harian dari POPs yang dikaitkan dengan kesehatan seperti kanker dan tumor, merusak perilaku sistem kerja saraf termasuk disfungsi sistem belajar dan perubahan temperamen, perubahan sistem kekebalan tubuh, kerusakan reproduksi dan gangguan seks. Beberapa referensi menunjukan bahwa kejadian kanker meningkat 2-8% setiap tahunnya selama dasawarsa terakhir.

Pada tingkat Internasional, Indonesia telah menjadi bagian dalam konvensi Stockholm pada tahun 2001, namun hasil inventarisasi 12 bahan POPs dalam laporan National Implementation Plan (NIP) 2008 menunjukkan bahwa beberapa jenis POPs banyak terdapat di Indonesia. Hal ini mendorong pemerintah untuk meratifikasikonvensi Stockholmmelalui Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 tentang pengesahan Stockholm Convension On Persistent Organic Pollutant.

Meskipun demikian, POPs masih ada di Indonesia bahkan termasuk beberapa jenis POPs baru yang ditetapkan oleh sekretariat Stokcholm dengan jumlah 23 bahan. Hal ini ditunjukkan pada laporan inventarisasi yang dilakukan pada tahun 2013 dalam dimana dilaporkan bahwa DDT, PCB, HCB dan PBDE terdeteksi bahkan dalam air susu ibu di Indonesia. Lebih jauh, regulasi terkait dengan bahan beracun dan berbahaya diluar POPs maupun 264 bahan dalam PP 74 tahun 2001 belum tersedia.

Sesuai amanat pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal 28 dan pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 bahwa Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pengawasan pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Sehingga diperlukan sebuah mekanisme untuk dapat menjadi pedoman untuk menentukan bahwa suatu bahan kimia harus dibatasi atau tidak terkait dengan produksi, impor dan peredarannya di Indonesia.

Views: 15478