RISET TERAPAN TENTANG POPS DAN LIMBAH B3

Penulis : FUZI SUCIATI, M.SI
Balai Teknologi Pengolahan Air dan Limbah (BTPAL) – BPPT

Persistent organic pollutants (POPs) adalah xenobioticssebagaimana halnya denganpolycylic aromatic hydrocarbon (PAH) dan potentially toxic elements (PTEs) seperti krom, kadmium, timbal, merkuri serta logam berat lainnya. Xenobiotics adalah perancu (contaminants) lingkungan yang lazim dijumpai. Bergantung kepada situasi lingkungan di mana zat tersebut berada (misal pH, potensial redoks, kelengasan) perancu lingkungan dapat berubah perilakunya menjadi cemaran (pollutant). Bahkan beberapa di antaranya ada yang merupakan endocrine disrupting chemicals (EDCs). Sifat khas dari cemaran POPs adalah menimbun (accumulating) dalam matra lingkungan. Karena secara alami POPs tidak mudah mengalami perombakan bangun kimia (chemical structure) baik secara biologik, fisik maupun kimiawi. Seringkali cemaran tersebut turut serta dalam alur rantai makanan (foodchain) atau jejaring makanan (foodweb) sehingga dapat mengalami pemekatan biologik (biological concentration) maupun pelipatan biologik (biological magnification) dalam biota.

Teknologi untuk menangani cemaran xenobiotics (POPs, PAH, PTEs) adalah beragam, baik yang dilakukan secara dalam-tempat (in-situ) maupun luar-tempat (ex-situ). Teknologi yang diterapkan dapat mencakup proses biologik, fisik, kimiawi maupun gabungan lebih dari satu proses. Dari sudut pandang aras kesiapan teknologi (technology readyness level) maka teknologi lingkungan di mana kehandalan proses dan biaya operasi penanganan cemaran masih belum panggah (consistent) digolongkan sebagai teknologi yang sedang berkembang (emerging technology). Sedangkan teknologi penanganan cemaran dengankehandalan proses dan biaya operasi yang bersifat panggah digolongkan sebagai teknologi terbukti (proven teknologi). United Nations Environment Program (UNEP) menggolongkan kehandalan teknologi penanganan cemaran berdasarkan waktu dan biaya proses sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria kehandalan teknologi pengolahan cemaran xenobiotics (POPs, PAH, PTEs)

Dalam artikel ini akan diulas secara ringkas peran BPPT dalam mengembangkan teknologi pengolahan cemaran xenobiotics yaitu pengolahan lahan terancu hidrokarbon, khususnya yang berupa minyak mentah (crude oil). Teknologi yang akan diulas adalah berbasis biologik, fisik, serta gabungan keduanya. Teknologi yang berbasis kepada proses biologik adalah bioremediasi dan fitoremediasi. Sedangkan yang berbasis proses fisik adalah desorpsi termal (thermal desorption). Teknologi yang merupakan gabungan proses fisik dan biologik adalah pump and treat. Satu teknologi tambahan yang akan diulas yaitu Solar-assissted Base-catalysed Decomposition, yaitu gabungan proses fisik dan kimia yang diterapkan untuk proses dehalogenasi PCBs (polychlorinated biphenyls) dalam minyak trafo.

Penanganan tanah tercemar minyak mentah secara biologik

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi penanganan tanah tercemar minyak mentah secara biologik yaitu landfarrming, biopile dan fitoremediasi. Dua yang pertama biasa disebut dengan bioremediasi. Teknologi landfarming adalah proses pemulihan tanah tercemar bahan organik dengan cara-cara sebagaimana yang biasa dipraktekkan di dunia pertanian. Sebagai pelaku utama proses bioremediasi adalah jasad renik (microorganism) sehingga pengaturan penyediaan zat hara serta sistem penghawaan adalah penting. Unsur hara utama yang diatur biasanya adalah karbon (C), nitrogen (N) serta fosfat (P). Nisbah (ratio) yang seringkali digunakan agar bioremediasi berlangsung optimal adalah C : N : P = 100 : 10 : 1.

Teknologi landfarming mengandalkan sistem penghawaan pasif. Oleh sebab itu ketebalan tumpukan tanah tercemar yang diolah tidak dapat melebihi 30 cm. Ketebalan yang tinggi menyebabkan udara tidak dapat membaur (diffuse) hingga ke bagian dalam tumpukan tanah tercemar. Jika ketebalan tumpukan tanah lebih dari 30 cm sering kali berakibat kepada jasad renik mengalami kekurangan oksigen. Situasi seperti ini pada akhirnya dapat menghambat proses perombakan molekul cemaran. Sebab jasad renik membutuhkan oksigen untuk melangsungkan proses biokimia seperti misalnya dalam meripta (synthesize) enzim. Karena ketebalan tumpukan yang tidak lebih dari 30 cm tersebut maka penerapan teknologi landfarming untuk mengolah tanah tercemar minyak mentah memerlukan tempat yang luas. Hal ini menyulitkan jika lahan yang tersedia tidak mencukupi. Gambar 1 menyajikan penerapan teknologi landfarming skala penuh (Italia) dan percobaan skala bangku yang dilakukan oleh BPPT.

Teknologi biopile secara prinsip menyerupai landfarming. Perbedaannya adalah dalam teknologi biopile digunakan penghawaan aktif. Penyediaan udara untuk keperluan proses pernafasan (respiration) serta reaksi biokimia oleh jasad renik dilakukan dengan menggunakan pompa. Dengan cara demikian maka udara dapat membaur hingga ke bagian dalam tumpukan tanah tercemar. Keuntungan dari cara ini adalah ukuran ketebalan tumpukan tanah yang diolah jauh lebih tinggi daripada cara landfarming. Ketebalan tumpukan setidaknya 200 cm dapat diterapkan dalam teknologi biopile untuk mengolah tanah tercemar. Karena ketebalan yang lebih tinggi tersebut maka penerapan teknologi biopile untuk mengolah sejumlah volume yang sama matriks tanah tercemar memerlukan luas area lebih kecil dibandingkan dengan teknologi landfarming.Pada Gambar 2 ditunjukkan penerapan teknologi biopile untuk mengolah tanah tercemar minyak.

Bioremediasi tanah tercemar minyak mentah sering kali berlangsung dengan kinetika perombakan bahan organik yang cepat hanya pada awal proses. Seiring dengan waktu kinetika tersebut menurun bahkan cenderung berproses dengan laju kinetik yang sangat rendah, khususnya ketika aras minyak (dinyatakan sebagai TPH atau total petroleum hydrocarbon) mendekati 10.000 mg/kg. Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini. Seperti yang tampak dalam gambar tersebut kesangkilan (efficiency) 62% terjadi dalam tempo cukup singkat (3 minggu) dalam menurunkan aras TPH dari 6,5% menjadi 2,5%. Mulai minggu ke-4 penurun aras TPH berlangsung pelan, khususnya pada saat aras TPH mendekati 1%. Pada aras TPH sekitar 1% bahan organik tersebut diperkirakan tidak lagi bioavailable bagi jasad renik. Hal ini diduga karena bahan organik penyusun TPH terjerap (adsorbed) pada partikel penyusun tekstur tanah seperti lempung (clay), lanau (silt) atau pasir (sand). Semakin tinggi kandungan lempung biasanya semakin kuat cemaran dijerap oleh partikel tanah.

Guna mengatasi persoalan menurunnya laju kinetik perombakan bahan pencemar organik oleh jasad renik pada aras sekitar 1% (= 10.000 mg/kg) maka dapat diterapkan teknologi fitoremediasi. Teknologi ini mengandalkan sinergi antara sistem perakaran tanaman dengan jasad renik. Wilayah perakaran (rhizosphere) mengandung exudates akar yang dibutuhkan oleh jasad renik dalam proses metabolisme. Produk metabolisme oleh jasad renik dapat berupa zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup. Situasi yang demikian menyebabkan wilayah perakaran biasanya dihuni oleh jasad renik aktif. Keadaan tersebut sangat menguntungkan karena dapat dimanfaatkan untuk proses kometabolisme cemaran yang berada di sekitar perakaran. Berbagai macam tanaman dapat digunakan dalam fitoremediasi, mulai dari jenis tanaman keras hingga berbegai jenis rumput. Gambar 4 menunjukkan lahan ujicoba fitoremediasi oleh BPPT pada tanah tercemar minyak dengan menggunakan tanaman rumput.

Penanganan air tanah tercemar minyak mentah secara kombinasi fisik–biologik

Menangani air tanah tercemar oleh minyak adalah cukup menantang karena tidak hanya berhadapan dengan volume air tanah yang besar namun juga keberadaan air yang sering kali cukup dalam dari muka tanah. Teknologi pump and treat menggabungkan cara fisik dan biologik untuk mengolah air tanah tercemar. Prinsipnya adalah air dipompa dari dalam tanah menuju ke bioreaktor untuk diolah dan selanjutnya dikembalikan lagi ke dalam tanah. Teknik ini tidak jauh berbeda dengan teknologi yang biasa digunakan dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Lama proses pengolahan bergantung kepada sejumlah faktor di antaranya adalah aras cemaran, waktu tinggal (retention time) serta populasi jasad renik. Pada Gambar 5 ditunjukkan ujicoba pengolahan air tanah tercemar minyak oleh team perekayasa dan peneliti BPPT.

Penanganan tanah tercemar minyak mentah secara desorpsi termal

Proses menangani matriks tanah tercemar minyak secara biologik membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam situasi di mana detoksifikasi tanah tercemar harus dilakukan dalam rentang waktu terbatas maka teknologi desorpsi termal dapat merupakan pilihan. Desorpsi termal prinsipnya adalah mengeluarkan cemaran dari matriks tanah dengan mengubah fasa cemaran menjadi berupa uap. Uap yang terbentuk selanjutnya diserap (absorbed) dalam medium yang sesuai untuk kemudian diolah. Oleh sebab itu teknologi desorpsi termal pada dasarnya adalah memindahkan cemaran dari satu matriks lingkungan ke matriks lingkungan lainnya. Dalam hal ini molekul induk cemaran masih tetap ada. Biasanya kisaran suhu desorpsi termal adalah 300 – 500oC.

Agar proses desorpsi termal menjadi mangkus diperlukan pengaturan kelengasan (humidity), porositas, laju kenaikan suhu serta pengadukan. Teknik pemanggangan dapat dilakukan secara langsung (direct firing) atau tidak langsung (indirect firing). Pemanggangan dengan menggunakan kumparan listrik juga bisa diterapkan. Pemanggangan secara langsung biasanya dihindari karena cenderung membuat tanah terolah menjadi gosong. Pasca perlakuan, berbeda dengan teknik yang berbasis biologik, kualitas tanah terolah dengan metode desorpsi termal memiliki kondisi kesuburan yang kurang baik. Hal ini dikarenakan dengan pemanggangan sejumlah zat hara dalam tanah menjadi hilang serta populasi jasad renik hampir dipastikan tidak ada yang hidup. Dengan teknik desorpsi termal aras TPH 10% dapat diturunkan menjadi di bawah 1% dalam tempo tidak lebih dari 30 menit. Pada Gambar 6 disajikan gawai (tool) yang digunakan dalam percobaan desorpsi termal serta hasil-hasil perlakukan pada berbagai suhu. Dalam percobaan tersebut gawai desorpsi termal yang digunakan adalah tipe pemanggang tidak langsung dengan menggunakan pemanas listrik. Gawai tersebut dilengkapi dengan pengatur suhu serta thermocouple. Dari hasil percobaan tampak bahwa semakin tinggi suhu pemanggangan semakin hitam warna tanah terolah.

Penanganan minyak trafo terancu polychlorinated biphenyls (PCBs)

Polychlorinated biphenyls (PCBs) adalah bahan yang dapat digunakan untuk menaikkan titik sulut (flash point) bahan lain. Bahan ini banyak digunakan dalam minyak trafo sehingga pada saat transformator dioperasikan tidak terjadi overheating yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran. Namun, banyak studi menunjukkan bahwa PCBs memiliki ciri-ciri sebagai POPs sehingga dalam Stockholm Convention dimasukkan sebagai salah satu bahan yang telah dibatasi, dilarang bahkan dimusnahkan dengan tenggat hingga 2025.

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk merombak PCBs adalah dehalogenasi. Solar-assisted base-catalyzed decomposition adalah salah satu teknik dehalogenasi PCBs yang dikembangkan oleh BPPT. Proses tersebut berlangsung dalam suasana basa. Produknya adalah PCBs dengan jumlah sulihan (substitute) atom klor yang lebih rendah. Minyak trafo yang terolah mempunyai aras PCBs kurang dari 5 ppm. Selain itu minyak trafo terolah juga dapat dimurnikan kembali melalui proses jerapan sehingga dapat digunakan untuk keperluan yang sesuai dengan karakteristik minyak terolah tersebut. Gambar 7 di bawah ini menyajikan diagram teknologi solar-assissted BCD yang dikembangkan oleh BPPT.

Daftar pustaka

Anon. 2016. Remediation technology. Integrated Science & Technology, Inc. USA

URL: http://www.integratedscience.com/Remediation-Technology.html [Online, diunduh pada 24 Agustus 2017]

Anon. 2008. National Implementation Plan on Elimination and Reduction of Persistent Organic Pollutants in Indonesia. Ministry of Environment Republic of Indonesia

Basel Convention. (No Year) Technical Guidelines for the environmentally sound management of wasters consisting of, containing or contaminated with POPs

Costner P., D. Luscombe & M. Simpson. 1998. Technical Criteria for the Destruction of Stockpiled Persistent Organic Pollutants. Greenpeace

Luscombe D. 2001. Non-incineration PCB destruction technologies (slide presentasi). Greenpeace International

McDowall R. 2002. Destruction and Decontamination Technologies for PCBs and other POPs Wastes Under the Basel Convention: A training manual for hazardous waste project managers. Vol. A. Secretariat of the Basel Convention. International Environment House. Switzerland.

Views: 2631