BAHAN PERUSAK OZON (BPO): APA DAN BAGAIMANA PENANGANANNYA

Penulis: Redny Tota Sihite


Awal Penggunaan CFC

Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa, beriklim tropis dan memiliki suhu udara yang cukup tinggi sepanjang tahun. Kondisi udara yang panas menyebabkan tidak nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas, sehingga banyak yang kemudian menggunakan pendingin ruangan (Air Conditioning) untuk mengatur suhu udara dalam keadaan lebih dingin. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia, maka penggunaan Air Conditioning (AC) bukan lagi dianggap sebagai barang mewah.

Dibalik dari penggunaan AC yang membuat rasa nyaman bagi manusia, tahu kah bahwa AC juga memberikan kontribusi dalam merusak lingkungan ketika tidak dilakukan perawatan yang baik dan benar?

Bahan pendingin AC pada awalnya menggunakan CFC (Chlorofluorocarbon), yang memiliki unsur klorin (Chlor), florin (Fluoro) dan karbon (Carbon) dan bersifat sangat stabil sehingga dapat mencapai lapisan stratosfer. Di lapisan stratosfer terdapat ozon (O3) yang memiliki peranan penting karena mampu menyerap sebagian besar radiasi ultraviolet-B (UV-B) dari matahari, sehingga hanya sejumlah kecil yang lolos dan sampai ke permukaan Bumi. Dengan keberadaan senyawa kimia buatan manusia yang mengandung berbagai kombinasi elemen kimia klorin, florin, bromin, karbon, dan hidrogen yang sering disebut halokarbon di lapisan stratosfer, maka terjadilah reaksi dengan ozon yang kemudian menyebabkan penguraian sehingga jumlah ozon mengalami penurunan.

Proses Kerusakan Ozon oleh CFC

Menilik pada sejarah, Mario Molina ilmuwan yang tergabung dalam tim Departemen Kimia Universitas California - Irvine (UCI) bersama dengan Sherwood Rowland, sekitar tahun 1973 melakukan penelitian pada CFC. Molina mengetahui bahwa jumlah CFC yang ada di lapisan troposfer dengan ketinggian antara 6 s/d 10 mil di atas permukaan bumi, kurang lebih sama dengan jumlah CFC yang diproduksi oleh manusia. Berbeda dengan senyawa kimia lainnya yang keberadaanya di atmosfer akan tercuci oleh air hujan, jumlah CFC relatif tetap karena CFC tidak larut dalam air. Setelah mengetahui tidak ada proses lain yang dapat melarutkan CFC di troposfer, maka Rowland dan Molina berasumsi bahwa CFC akan terus naik dan akhirnya mencapai lapisan stratosfer diatasnya. Mereka juga menduga bahwa proses perjalanan CFC ke stratosfer sangat lamban. Menurut perhitungan mereka, dibutuhkan waktu antara 40 hingga 150 tahun bagi senyawa-senyawa kimia yang dilepaskan di bumi untuk mencapai “kematiannya”.

Gambar Lapisan Atmosfer

Menurut Rowland dan Molina, CFC yang sudah berada di stratosfer akan dipecah oleh radiasi matahari gelombang pendek seperti ultraviolet. Oleh karena CFC tidak menyerap radiasi matahari dengan panjang gelombang yang lebih panjang, maka selama berada di atmosfer yang lebih bawah, senyawa kimia CFC akan tetap utuh. Namun ketika melewati selimut pelindung ozon, maka radiasi gelombang pendek akan dengan mudah memecah CFC melalui proses yang dikenal dengan nama fotodissosiasi. Melalui proses inilah maka atom-atom klorin akan terlepas dari CFC. Atom klorin yang lepas dari CFC akan bertabrakan dengan molekul ozon yang sangat tidak stabil. Namun rupanya proses ini tidak berhenti disitu saja. Sekali atom klorin terbebas dari CFC dan bertabrakan dengan molekul ozon, maka hasil sampingannya adalah oksigen (O2) dan klorin monooksida (ClO). Klorin monooksida adalah radikal bebas yang tidak stabil dan sangat mudah bereaksi dengan fragmendengan nomor elektron ganjil.

Selanjutnya menurut perhitungan Molina, ketika klorin monooksida bertemu dengan atom oksigen bebas, maka oksigen didalam klorin monooksida akan tertarik kepada atom oksigen bebas lainnya dan terpisah membentuk molekul oksigen baru. Akibatnya klorin akan kembali terbebaskan dan kembali akan bertabrakan dengan ozon, dengan demikian dimulailah siklus penghancuran ozon yang berlangsung secara terus menerus.Efek dari siklus inilah yang kemudian dikenal dengan terjadinya lubang ozon, yang mengakibatkan meningkatnya intensitas sinar UV-B mencapai permukaan bumi.

Gambar Proses Kerusakan Ozon oleh Klorin

Dampak Kerusakan Ozon Stratosfer

Kemudian apa dampaknya jika sinar UV-B intensitas tinggi mencapai bumi? Menurut para ahli, setiap 10% penipisan lapisan ozon dapat meningkatkan 20% radiasi UV-B. Bila radiasi UV-B terlalu banyak sampai ke Bumi maka kasus-kasus yang terjadi antara lain memicu terjadinya penyakit kanker kulit, katarak mata dan menurunkan tingkat kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Selain itu Menghambat pertumbuhan tanaman sehingga menjadi kerdil, menyebabkan kepunahan plankton yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan dan organisme air lainnya.Radiasi UV-B juga dapat mengurangi kemampuan sejumlah organisme dalam penyerapan gas karbondioksida (CO2) yang merupakan salah satu gas rumah kaca, sehingga konsentrasi gas tersebut di atmosfer meningkat dan menyebabkan terjadinya pemanasan global.

Bahan Perusak Ozon (BPO) dan Penggunaannya

Produk kenyamanan seperti AC hanyalah satu contoh sumber penggunaan CFC atau kemudian dikenal sebagai Bahan Perusak Ozon (BPO). Bahan kimia yang dikelompokkan sebagai BPO adalah sebagai berikut:

Beberapa contoh produk yang pada awalnya diproduksi menggunakan BPO seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel Jenis Produk dan Penggunaan BPO

No. Jenis Produk Penggunaan BPO
1. Foam: oFurniture: Spring bed, kasur busa, busa kursi untuk sofa, jok mobil, kursi kantor, dll.
oBahan Insulasi peralatan pendingin.

oAsesoris mobil: dashboard, setir mobil, list kaca mobil.

oKonstruksi bangunan: insulasi pada bangunan.

CFC, HCFC
2. Bahan pendingin/Refrigerasi:
  • oKulkas, AC mobil, pendingin ruangan, lemari display, mesin penjual minuman otomatis (vending machine), dll.
CFC, HCFC
3. Pemadam kebakaran:
  • oAlat Pemadam Api Ringan (APAR), sistem pemadam api terpasang pada bangunan (fixed system)
Halon
4. Aerosol:
  • oHair spray, parfum spray, dll
CFC
5. Pelarut/solvent:
  • oPencucian komponen dalam proses produksi barang elektronik.
  • oLarutan pengencer untuk cairan penghapus.
CFC, CTC TCA
6. Tembakau:
  • oSebagai pengembang tembakau pada proses pembuatan rokok jenis mild.
CFC
7. Fumigasi:
  • oSebagai pembasmi hama (pestisida) dalam proses pengasapan (fumigasi) gudang hasil panen, pra-pengapalan dan karantina.
Methyl bromide

Seiring dengan perkembangan teknologi, dan adanya intervensi dari kesepakatan internasional dalam upaya perlindungan lapisan ozon, maka sebagian besar produk-produk tersebut telah diproduksi dengan bahan pengganti BPO. Produk lama yang kemungkinan masih mengandung BPO seperti produk pendingin dan alat pemadam kebakaran perlu diperhatikan dalam melakukan perawatan, agar tidak terjadi kebocoran dan terlepasnya BPO ke atmosfer.

Kesepakatan Internasional dalam Menanggulangi Kerusakan Ozon

Kerusakan lapisan ozon memberikan dampak negatif terhadap kehidupan di bumi, sebaran dampak yang diakibatkan, serta pihak yang menderita tidak mengenal batas yuridis wilayah suatu negara. Melalui koordinasi oleh United Nations Environment Programme (UNEP), terwujud kesepakatan yang memperhitungkan prinsip universal mengenai masalah kerusakan lapisan ozon yang dituangkan dalam Konvensi Wina untuk perlindungan lapisan ozon pada tahun 1985. Konvensi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Protokol Montreal tahun 1987 yang mengatur tentang zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon. Kewajiban-kewajiban yang digariskan dalam Konvensi Wina 1985 menekankan masalah kerjasama internasional. Isi perjanjian dalam Protokol Montreal lebih konkrit karena memuat larangan-larangan yang harus dilaksanakan oleh negara anggota, seperti keharusan mengganti BPO dengan bahan-bahan yang tidak merusak lingkungan.

Pada awalnya Protokol Montreal menetapkan langkah-langkah pengurangan, produksi dan konsumsi beberapa zat yang dapat merusak ozon yaitu 5 jenis CFC dan 3 jenis Halon. Ketetapan Protokol Montreal didesain berdasarkan hasil kajian ilmiah dan teknologi secara periodik, sehingga jadwal penghapusan BPO dapat direvisi. Berdasarkan hasil kajian, dilakukan adjustment untuk pengaturan penghapusan BPO lainnya pada tahun 1990 di London, 1992 di Kopenhagen, 1995 di Wina, 1997 di Montreal, 1999 di Beijing dan tahun 2007 di Montreal.

Penghapusan BPO jenis CFC, Halon, TCA dan CTC, dan Methyl Bromide untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dapat tercapai sebagaimana disepakati bersama di Protokol Montreal. Saat ini BPO jenis HCFC menjadi target percepatan penghapusan sebagaimana diputuskan pada Meeting of Parties (MOP) ke-19. Jadwal penghapusan HCFC untuk negara Artikel 5 (termasuk negara Indonesia) dihitung berdasarkan baseline yang diambil dari rata-rata perkiraan konsumsi tahun 2009-2010. Target penghapusan HCFC yang telah ditetapkan adalah; Tahun 2013: freeze; tahun 2015: penurunan sebesar 10% dari angka baseline; tahun 2020: penurunan sebesar 35%; tahun 2025: penurunan sebesar 67,5%; dan tahun 2030: penurunan sebesar 100%, dimana antara tahun 2030-2040 HCFC hanya diperbolehkan untuk kegunaan pemeliharaan (servicing) peralatan pendingin.

Konvensi Wina dan Protokol Montreal saat ini telah ditandatangani oleh 197 negara, merupakan contoh penting kerjasama global dalam merespon masalah lingkungan global yang serius. Apabila negara-negara mengikuti perjanjian ini, tingkat ozon seharusnya kembali ke tingkat tahun 1980 pada tahun 2068 dan ke level 1950 pada tahun 2100. Keberhasilan kerjasama ini dapat terlihat sebagaimana kutipan dari berita di website https://www.nasa.gov/feature/Goddard/2016/antarcti... pada tanggal 25 Oktober 2016, yang berjudul “2016 Antarctic Ozone Hole Attains Moderate Size, Consistent With Scientific Expectations”, Paul A. Newman seorang pimpinan ilmuwan Earth Sciences at NASA's Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland mengatakan: “Tahun ini kami melihat lubang ozon berada di bawah ukuran rata-rata. Apa yang kita lihat konsisten dengan harapan dan pemahaman kita tentang bahan kimia yang menipiskan ozon dan cuaca stratosfer."

Peran dan Capaian Indonesia Dalam Menanggulangi Kerusakan Lapisan Ozon

Di tingkat nasional, kebijakan perlindungan lapisan ozon di Indonesia telah disusun sejak adanya ratifikasi Konvensi Wina yang merupakan payung hukum dalam melaksanakan upaya pengendalian BPO. Pernyataan ratifikasi konvensi Wina secara formal diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer and Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone layer as adjusted and amended by second meeting of the Parties London, 27 – 29 June 1990. Langkah tersebut menunjukkan ketegasan Indonesia untuk mengikatkan diri, mematuhi hak dan kewajiban yang timbul dengan ratifikasi tersebut. Pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Presiden No.92 tahun 1998 tentang Pengesahan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, dan Copenhagen Amandment 1992.

Program penghapusan BPO sangat dinamis sehingga diperlukan peraturan yang dapat mendukung kebijakan yang telah disepakati di tingkat internasional maupun nasional. Penyusunan peraturan dilaksanakan dengan koordinasi antar kementerian terkait, asosiasi industri,dan pihak pemangku kepentingan lainnya.

Secara ringkas, capaian Indonesia dalam upaya penghapusan BPO antara lain dapat terlihat dengan adanya larangan impor beberapa jenis BPO sejak 1 Januari 2008, kecuali BPO jenis Methyl bromideuntuk keperluan fumigasi karantina dan pra-pengapalan serta HCFC. Kebutuhan nasional BPO dan penetapan volume impor BPO untuk masing-masing importir BPO setiap tahun ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi kementerian terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 83/M-DAG/PER/10/2015 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon. Selain itu, impor barang berbasis sistem pendingin yang menggunakan refrigerant HCFC-22 baik dalam keadaan terisi maupun kosong dilarang mulai 1 Januari 2015 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 55/M/-DAG/PER/9/2014 tentang Ketentuan Impor Barang Berbasis Sistem Pendingin.

Di tingkat penggunaan, sejak 1 Juli 2008 BPO jenis CFC, R-500, R-502 dan Halon telah dilarang digunakan pada produksi AC yang digunakan dalam ruangan dan kendaraan bermotor, lemari es tipe rumah tangga, mesin pendingin, aerosol dan alat pemadam api. CFC dan Halon dapat didaur ulang dan hasil daur ulang hanya dapat digunakan untuk pemeliharaan barang yang sistem kerjanya masih menggunakan CFC atau Halon. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND-/PER/4/2007 Tahun 2007 tentang Larangan Memproduksi BPO Serta Barang Yang Menggunakan BPO.


Selanjutnya, penggunaan BPO jenis HCFC diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/5/2014 tentang Larangan Penggunaan Hydrochlorofluorocarbon (HCFC) di Bidang Perindustrian. Disebutkan bahwa mulai 1 Januari 2015, HCFC jenis HCFC-22 dan HCFC-141b dilarang digunakan pada pengisian dalam proses produksi AC ruangan, mesin pengatur suhu udara, dan alat/mesin refrigerasi, proses produksi rigid foam untuk barang freezer, domestic refrigerator, boardstock laminated, refrigerated truck dan proses produksi integral skin untuk penggunaan di sektor automotive dan furniture. HCFC yang digunakan untuk pemeliharaan barang dilarang digunakan mulai 31 Desember 2030.

Grafik Target dan Capaian Penghapusan BPO Indonesia.

*) MP: Montreal Protocol

Dalam Lampiran Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), BPO diklasifikasikan sebagai bahan yang berbahaya bagi lingkungan (dapat merusak lapisan ozon). BPO jenis CFC (15 jenis CFC), CTC, TCA, Halon (3 jenis Halon), R-502 (bahan kimia campuran mengandung CFC) dan Metil bromida masuk dalam lampiran sebagai B3 yang terbatas dipergunakan. Sedangkan BPO jenis HCFC (40 jenis HCFC) masuk dalam lampiran B3 yang dipergunakan.

Dengan adanya pengaturan pelarangan impor dan pelarangan penggunaan beberapa jenis BPO yang telah ditetapkan oleh Kementerian terkait, maka pengelompokan BPO yang masuk dalam lampiran PP No. 74 tahun 2001 perlu juga untuk disesuaikan terutama untuk jenis BPO yang telah dilarang diimpor dan dipergunakan.

Daftar Pustaka:

Views: 160966