Pengembangan Teknologi Pengendalian POPs Karakterisasi Ekstrak dan Fraksi Aktif Keluwak (Pangium Edule Reinw)

Karakterisasi Ekstrak dan Fraksi Aktif Keluwak (Pangium Edule Reinw)Sebagai Pembasmi Kutu Rambut Pengganti Lindan, Analisis Potensi Dampak Lingkungan Produksi dan Pemanfaatannya 


I. Pengantar

Pada tahun 2009, Indonesia telah melarang produksi dan mengurangi penggunaan senyawa-senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs) POPs seperti dituangkan dalam UU No. 19/2009 tentang pengesahan Konvensi Stockholm setelah Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut. Sebagai negara anggota, Indonesia harus menaati pengelolaan senyawa-senyawa POPs yang diatur dalam Konvensi.

Konvensi ini merupakan instrumen yang mengikat secara hukum bagi semua Para Pihak untuk menempuh berbagai upaya dalam rangka mengurangi atau menghentikan lepasan POPs. Upaya tersebut termasuk peraturan yang berkenaan dengan produksi, impor, ekspor, penggunaan, pembuangan, dan lepasan POPs. Konvensi juga mewajibkan pemerintah mengenalkan teknik terbaik yang tersedia (BAT, best available techniques) dan penerapan pengelolaan lingkungan hidup terbaik (BEP, best environmental practices) untuk menggantikan POPs yang ada sekaligus mencegah pembentukan POPs yang baru. Untuk senyawa-senyawa POPs yang tidak boleh dipergunakan lagi, sudah seharusnya dicarikan senyawa-senyawa pengganti dengan fungsi yang sama tetapi aman bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.

Salah satu bahan polutan organik persisten yang menjadi perhatian untuk dicarikan penggantinya adalah Lindan. Lindan merupakan senyawa anti serangga yang tidak boleh diproduksi lagi tetapi pengecualian diberikan untuk penggunaan di bidang kesehatan. Di India, Lindan biasa digunakan untuk membasmi hama tanaman terutama padi, sehingga padi di India banyak yang tercemar Lindan. Sedangkan di Indonesia, Lindan dikemas dengan konsentrasi tertentu dan digunakan sebagai obat pembasmi kutu rambut yang terutama menyerang anak-anak. Dengan berlakunya Konvensi Stockholm, maka Indonesia tidak diperbolehkan memroduksi Lindan dan harus membatasi penggunaannya hanya untuk pembasmi obat kutu rambut. Keadaan ini nantinya akan membawa pada keterbatasan Lindan sebagai bahan baku obat pembasmi kutu rambut tersebut. Maka, sebelum Lindan benar-benar dihapuskan pemakaiannya atau sebelum persediaannya habis, perlu dicari bahan atau senyawa penggantinya yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.

Artikel yang dituangkan dalam technical report (TR) ini adalah hasil akhir dari kegiatan WP 1.4.1 Pengembangan Teknologi Pengendalian POPs yang secara substansi melakukan perekayasaan “Karakterisasi Ekstrak dan Fraksi Aktif Keluwak (Pangium Edule Reinw) Sebagai Pembasmi Kutu Rambut Pengganti Lindan dan Analisis Potensi Dampak Lingkungan Produksi dan Pemanfaatannya”.


II. Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari kegiatan Pengembangan Teknologi Pengendalian POPs ini adalah untuk mencari alternatif bahan anti kutu rambut (serangga) untuk menggantikan Lindan yang termasuk senyawa persistent organic pollutans (POPs). Lindan adalah senyawa kimia anti serangga (termasuk kutu rambut) yang bersifat toksik, persisten/ sulit terurai, akumulatif didalam lemak tubuh dan pada saat berada di alam akan mudah berpindah karena terbawa angin atau arus air.

Sasaran kegiatan ini adalah untuk :

  1. Mendapatkan karakteristik ekstrak dan fraksi buah keluwak, yang merupakan bahan alam ramah lingkungan untuk penyubstitusi Lindan sebagai anti serangga (pembasmi kutu rambut)
  2. Mengetahui potensi dampak lingkungan produksi dan pemanfaatan ekstrak keluwak pengganti Lindan.


III. Kegiatan Penelitian

3.1. Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan lindane sebagai senyawa toksik menengah akut pada manusia dan bersifat polutan organik yang mudah terakumulasi dalam jangka panjang di lingkungan. Sejak November 2006, lindane dilarang digunakan di 52 negara dan dibatasi penggunaannya di 33 negara lainnya. Bagaimanapun, di Amerika Serikat, lindane masih diperbolehkan digunakan dalam terapi lini kedua untuk mengatasi kutu rambut dan skabies. Sebagai pilihan pertama, penggunaan krim permetrin dan losion malathion lebih dianjurkan.

EPA dan WHO keduanya mengaklasifikasikan lindane sebagai “moderately acutely toxic”. Lindane memiliki LD50 dengan portal of entri melalui oral 88-190 mg / kg berat badan tikus, 100-127 mg / kg pada kelinci percobaan, dan 200 mg / kg pada kelinci dan portal of entri kulit sekitar 500 to 1000 mg/kg pada tikus uji, 300 mg/kg pada tikus putih, 400 mg/kg pada guinea pigs, dan 300 mg/kg pada kelinci. Semua efek yang merugikan terhadap kesehatan manusia yang berasal dari lindane berhubungan dengan penggunaannya dalam pertanian dan paparan kronis penyakit jabatan dari petani.

Pekerja mungkin terpapar produk melalui penyerapan kulit dan melalui inhalasi jika ditangani secara tidak benar. Lotion (10%) diterapkan untuk kudis yang telah mengakibatkan keracunan parah di beberapa anak-anak dan bayi. Hal ini dilaporkan bahwa dari 120 mg / kg lindan yang digunakan menghambat kemampuan sel-sel darah putih untuk menyerang dan membunuh bakteri asing dalam darah tikus, dan 60 mg / kg menghambat pembentukan antibodi serum albumin manusia. Tidak jelas apakah efek ini hanyalah sementara, atau untuk berapa lama mungkin akan berlangsung.

Salah satu alternatif pengendalian yang efektif terhadap hama serangga sasaran dan aman bagi lingkungan ialah insektisida botani (bahan insektisida dari tumbuhan). Insektisida golongan tersebut cukup potensial untuk diterapkan karena insektisida tersebut umumnya cukup aman, dan mudah terurai di lingkungan sehingga tidak dikhawatirkan akan meninggalkan residu yang beracun. Selain itu, insektisida botani yang disiapkan sendiri oleh pengguna memiliki peluang yang baik untuk diterapkan dalam upaya pemberantasan hama serangga. Dengan demikian, penggunaan insektisida botani diharapkan dapat mengurangi berbagai dampak ekologi yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida sintetik seperti yang disebutkan di atas.

Setiap bahan kimia dari tumbuhan yang dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh biologi terhadap organisme pengganggu dan memenuhi syarat untuk digunakan dalam pengendalian disebut racun nabati. Racun nabati yang telah banyak diketahui termasuk dalam kelompok insektisida nabati, yaitu kelompok racun nabati yang sasarannya hama serangga. Sangat sedikit racun nabati yang efektif terhadap patogen. Karena itu, pokok bahasan dalam makalah ini terbatas pada insektisida nabati.

Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan untuk mencapai sasaran kegiatan adalah:

  1. Mempelajari potensi buah keluwak (pangium edule reinw) untuk pengganti lindan sebagai anti serangga, pembasmi kutu rambut.
  2. Melakukan ekstraksi dan fraksinasi buah keluwak.
  3. Melakukan pemilihan ekstrak dan kemudian fraksi aktif yang aman bagi kesehatan manusia melalui uji toksisitas dan efektifitas ekstrak dan fraksi aktif.
  4. Melakukan analisis potensi dampak lingkungan produksi dan pemanfaatan keluwak sebagai anti serangga, pembasmi kutu rambut.


3.2. Metodologi

Metodologi yang digunakan untuk mencapai sasaran kegiatan adalah:

  1. Studi literature.
  2. Survey untuk mendapatkan sumber bahan baku penetlitian (buah keluwak) dan survey sarana prasarana laboratorium yang memadai yang tidak tersedia di BPPT untuk melakukan ekstraksi dan fraksinasi buah keluwak serta analisisnya.
  3. Melakukan riset melalui percobaan-percobaan di laboratorium untuk mendapatkan ekstrak dan fraksi aktif terpilih dari buah keluwak.
  4. Melakukan analisis potensi dampak lingkungan dari produksi dan pemanfaatan keluwak sebagai anti serangga, pembasmi kutu rambut.


3.3. Manfaat Kegiatan

Manfaat kegiatan ini adalah untuk memberikan alternatif bahan pembasmi kutu rambut yang aman bagi kesehatan manusia yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan pembasmi kutu rambut yang banyak dipakai di Indonesia saat ini yaitu lindan 0.5%, yang bersifat toksik dan termasuk bahan POPs yang tidak boleh diproduksi lagi.


IV. Hasil Kegiatan

Kegiatan ini telah menghasilkan ekstrak dan fraksi keluwak yang relatif efektif mematikan kutu rambut. Ekstrak yang diperoleh dianalisis kandungan metabolit sekundernya dengan skrining fitokimia dan diperoleh hasil kandungan golongan metabolit sekunder terdiri dari flavonoid, quinon dan steroid/ terpenoid (Tabel 1).

Ekstraksi daging buah keluwak dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut air dan etanol. Kemudian ekstrak yang dihasilkan diuji toksisitasnya terhadap mata, kulit (menggunakan hewan percobaan, kelinci) dan oral (menggunakan hewan uji tikus) serta diuji efektifitasnya terhadap hewan uji kutu rambut. Hewan percobaan kelinci dan tikus dipilih sesuai standard percobaan yang umum berlaku, sedang hewan percobaan kutu rambut yang belum ada standardnya diambil dan dipilih yang besar (dewasa) secara acak dari beberapa orang.

Tabel 1. Hasil Penapisan Fitokimia terhadap ekstrak air dan etanol dari keluwak


dengan rentang umur yang cukup lebar dari anak-anak sampai orang dewasa (10 th – 40 th). Hasil uji toksisitasnya menunjukkan bahwa ekstrak keluwak baik dengan pelarut air maupun etanol, aman untuk digunakan karena tidak memberikan indikasi iritasi terhadap mata dan kulit hewan uji. Begitu juga dengan uji toksisitas oral akut, ekstrak keluwak dengan dosis 2000 mg/ kg berat badan hewan uji tidak menyebabkan gangguan bahkan kematian. Dosis tersebut merupakan dosis maksimum obat. Diperkirakan LD50 lebih besar dari 2000 mg/ kg berat badan. Sementara, hasil uji efektifitas ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak keluwak-etanol lebih efektif daripada ekstrak keluwak-air.

Fraksinasi kemudian dilakukan terhadap ekstrak keluwak yang lebih aktif yaitu ekstrak keluwak – etanol dan diperoleh beberapa fraksi yang kemudian digolongkan menjadi 5 fraksi berdasarkan kemiripan sifat-sifat kimianya, dimana setelah dilakukan uji efektifitas, fraksi yang paling efektif membasmi kutu rambut adalah yang bersifat semi-polar (difraksinasi menggunakan eluen etil asetat - metanol dengan perbandingan 70:30).

Keseluruhan uji efektifitas dilakukan dengan variasi konsentrasi larutan keluwak 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm dan diperoleh konsentrasi efektif adalah 1000 ppm (0,1% w/v). Dengan konsentrasi keluwak 0,1% tersebut, kutu mati 100% dalam waktu 240 menit. Berdasarkan hasil penelitian tentang efek dari essential oil: tea tree oil dan nerolidol terhadap pediculus capitis (kutu rambut) yang dilakukan oleh Di Campli, et al. (2012), diperoleh konsentrasi efektif tea tree oil sebesar 1% dimana kutu mati 100% dalam waktu 30 menit dan ini lebih efektif daripada efek nerolidol 2% yang menyebabkan kutu mati sebanyak 33% dalam waktu 120 menit. Dari perbandingan hasil tersebut, dapat diperkirakan bahwa fraksi keluwak lebih efektif daripada tea tree oil. Semua uji efektifitas dilakukan dengan kontrol negatif (tanpa larutan keluwak) dan dengan kontrol positif (menggunakan lindan 0,5% yang ada dalam produk Peditox). Hewan uji yang dipaparkan lindan 0,5% akan mati 100% dalam waktu 2,5 menit.


4.1. Potensi Buah Keluwak (pangium edule reinw) untuk Pengganti Lindan sebagai Anti Serangga, Pembasmi Kutu
      Rambut

4.1.1. Dampak pemakaian Lindan sebagai insektisida/ anti kutu rambut terhadap kesehatan manusia

Lindan, sebagai salah satu bagian dari senyawa hydrogen terklorinasi bersama DDT dan dieldrin, adalah senyawa pestisida organoklorin dengan nama IUPAC γ-isomer heksaklorosikloheksana atau disebut juga benzene heksaklorida. Penggunaan jenis pestisida ini tidak hanya dalam sektor pertanian, melainkan juga dalam sektor peternakan dan kesehatan, di mana lindan digunakan sebagai zat aktif dalam mengobati berberapa penyakit kulit yang terjadi pada tubuh hewan dan manusia yang diakibatkan oleh beberapa jenis serangga seperti tungau-caplak dan kutu baik kutu rambut maupun kutu badan (pediculosida). Dalam penggunaannya sebagai obat, pada umumnya tidak untuk ditelan sehingga masuk ke dalam saluran pencernaan. Penggunaan lindan sebagai obat kutu rambut pertama kali ditemukan pada Perang Dunia ke-1, lalu pada Perang Korea, dan dipertegas bahwa lindan memang dapat digunakan untuk mengobati gangguan akibat kutu rambut pada kepala para tentara.


Gambar 1.Struktur kimia lindan


Lindan tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak berwarna. Untuk mengobati penyakit scabies, lindan digunakan secara tunggal dengan mengoleskan keseluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion. Setelah pemakaian, kemudain dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan Lindan selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1%. Penggunaan lindan sebagai obat kutu rambut adalah seperti shampo yang didiamkan kurang lebih selama 10 menit dengan pemakaian yang berulang dalam 7-10 hari.

Struktur γ-isomer yang dimiliki lindan dikenal sebagai struktur kimia yang paling beracun yang dimiliki oleh pestisida. Belum lagi, lindan bersifat bioakumulatif yang artinya dapat menumpuk pada rantai makanan dengan level paling tinggi. Artinya ketika lindan masuk ke dalam system rantai makanan manusia, sebagai pemegang posisi rantai makanan paling tinggi, maka manusia akan menjadi target akumulatif lindan yang bersifat sangat toksik tersebut. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan keharusan penghentian lindan dari peredaran. Di Amerika Serikat, pelarangan lindan telah dilakukan oleh Environmental Protection Agency (US-EPA), namun sayangnya pihak Food and Drug Administration (FDA) masih memperbolehkan penggunaannya dalam shampo dan losion untuk anak anak.

Pada kenyataannya, berbagai negara melaporkan adanya kasus kematian dan kasus keracunan yang berakibat fatal akibat paparan lindan baik paparan secara kontak maupun melalui pencernaan.

Lindan dilaporkan oleh berbagai lembaga penelitian termasuk di dalamnya adalah Pesticide Action Network North America (PANNA), bahwa lindan dapat menyebabkan keracunan sel saraf pusat (Central Nervous System-CNS) baik dalam jangka waktu singkat, menengah maupun panjang. Bahan ini juga diketahui mengakibatkan kerusakan terhadap ginjal, dan diduga menyebabkan kanker, kelumpuhan pada hati, penurunan kualitas hormon, dan bahkan kematian. Lindan menyebabkan kerusakan endokrin yang akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan kesehatan alat reproduksi. Lindan tidak mudah didegradasi, bahkan dengan karakteristiknya yang mudah menguap ke udara yang dapat menyebabkan paparan langsung dari zat beracun ini.

Toksisitas Lindan sebagai senyawa organoklorin terhadap susunan saraf adalah merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang. Beberapa zat kimia ini menginduksi fasilitasi dan hipereksitasi pada taut sinaps dan taut neuromuskuler yang mengakibatkan pelucutan berulang pada neuron pusat, neuron sensorik, dan neuron motorik. Organofosfat (OP) dan karbamat menghambat AChE. Biasanya neurotransmiter ACh dilepaskan pada sinaps itu. Sekali impuls saraf disalurkan, ACh yang dilepas dihidrolisis oleh AChE menjadi asam asetat dan kolin di tempat itu. Sewaktu terpapar OP dan karbamat, AChE dihambat sehingga terjadi akumulasi ACh. ACh yang ditimbun dalam Sistem Syaraf Pusat (SSP) akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, dll. Dalam sistem saraf autonom, akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar, bronkokonstriksi, miosis, dll. Akumulasinya pada taut neuromuskuler akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleks, dan paralisis. Penghambatan AChE yang diinduksi oleh karbamat dapat pulih dengan mudah, sedangkan pajanan berikutnya terhadap senyawa OP biasanya lebih sulit pulih.

Tanda-tanda klinis toksisitas CNS setelah keracunan lindan yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindan dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia.

Association of Poison Control Center menyatakan bahwa pada tahun 1993 terdapat 2645 kasus keracunan dengan 18 kasus kematian fatal yang terjadi akibat insektisida hidrokarbon terklorinasi, di mana lindan adalah salah satunya. Memang tidak dijelaskan data spesifik lindan menyebabkan berapa kasus, tapi mengingat lindan memiliki karakteristik racun yang kuat maka bisa jadi kasus tersebut diakibatkan oleh lindan, terlebih laporan pada beberapa tahun berikutnya yang menyatakan kasus yang jelas akibat paparan lindan. Kasus lindan ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Mekanisme spesifik penetrasi lindan dan akibatnya masih dilakukan penelitian, bahkan hingga sekarang. Namun diperkirakan mengapa anak-anak memiliki kerentanan lebih besar dibandingkan orang dewasa adalah karena pengaruh proses perkembangan syaraf anak anak yang masih terus berkembang. Bahkan ditemukan asosiasi antara kanker otak dengan penggunaan shampo yang mengandung lindan.

Organoklorin juga diduga kuat bersifat karsinogen dan ini terbukti bahwa organoklorin yang diuji semuanya telah terbukti menginduksi hepatoma pada mencit. Sementara, organofosfat umumnya tidak bersifat karsinogenik, kecuali senyawa yang mengandung halogen, misalnya tetraklorinvos. Karbamat sendiri juga tidak bersifat karsinogenik, tetapi bila ada asam nitrit, karbaril terbukti dapat membentuk nitrosokarbaril yang bersifat karsinogenik.

Paparan Lindan maupun senyawa organoklorin lainnya dapat juga berdampak pada teratogenisitas dan mempunyai dampak pada fungsi reproduksi. Pada akhir tahun 1960-an, muncul berbagai artikel yang melaporkan berbagai jenis efek teratogen dan efek reproduksi akibat karbaril pada anjing. Penelitian pada tikus yang diberi karbaril tidak membuktikan adanya efek pada berbagai fungsi reproduksi dan tidak ada teratogen. Pestisida lain yang dilaporkan mempunyai efek teratogen ialah fungisida ditiokarbamat.

Efek buruk lain dari penggunaan Lindan, senyawa organoklorin maupun pestisida lainnya, diantaranya adalah: efek khusus karbaril pada ginjal dilaporkan terjadi pada sekelompok sukarelawan manusia yang diberi karbaril dengan dosis 0,12 mg/kg setiap hari selama 6 minggu. Parakuat tersebut menyebabkan edema paru-paru, perdarahan, dan fibrosis setelah penghirupan atau termakan, tetapi herbisida yang berkaitan erat, yaitu dikuat, tidak menunjukkan efek tersebut. Reaksi hipersensitivitas terhadap piretrum telah dilaporkan. Bentuk yang paling umum adalah dermatitis kontak. Asma juga telah dilaporkan. Organoklorin bersifat hepatotoksik, menginduksi pembesaran hati dan nekrosis sentrolobuler. Zat ini juga merupakan penginduksi mono-oksigenase mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi toksisitas zat kimia lain. Beberapa organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisida ditiokarbamat, dan herbisida dapat mengubah berbagai fungsi imun. Contohnya malation, metilparation, karbaril, DDT, parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi, mengganggu fagositosis leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, timus dan kelenjar limpa.

Lindan di Indonesia sendiri diproduksi sebagian besar untuk obat kutu rambut, terutama yang bermerk Peditox. Di mancanegara, lindan banyak ditemukan pada produk bermerk Gamene, Kwell, Bio-Well, G-Well, GBH, Kildane, Scabene, dan Thionex. Sekarang, peredarannya sudah dilarang di 52 negara dan dibatasi di 33 negara lainnya. Perdagangan internasionalnya dibatasi dan diatur oleh Konvensi Rotterdam dan produksi serta penggunaannya untuk keperluan pertanian sudah dilarang berdasarkan konvensi Stockholm. WHO mendaftarkan bahan ini sebagai 'Moderately Hazardous'.

Persistent Organic Pollutants (POPs) atau bahan pencemar organik yang persisten banyak ditemui dalam produk pestisida, kimia industri dan hasil-hasil sampingan proses industri (unintentionally by products). Secara umum sebenarnya Indonesia telah melarang produk-produk pestisida yang mengandung POPs dan menggantinya dengan yang mengandung zat yang lebih cepat terurai di alam seperti carbamat, namun karena lemahnya pengawasan, saat ini ditengarai adanya pestisida yang beredar secara gelap dan juga adanya peningkatan masalah kesehatan akibat POPs di daerah-daerah tertentu. Masalah POPs ini secara global diatur dengan lahirnya Konvensi Stockholm dimana Indonesia telah menjadi anggota (pihak) dan telah meratifikasinya.


4.1.2. Potensi Manfaat Buah Keluwak sebagai Anti Serangga (termasuk kutu rambut) Pengganti Lindan

Dari kegiatan tahun 2012, dengan menggunakan analisis multi kriteria, telah diseleksi 3 jenis tumbuhan yang berpotensi mensubstitusi penggunaan Lindan sebagai pembasmi serangga, khususnya kutu rambut. Melanjutkan kegiatan tersebut, dipilih satu tumbuhan yang paling berpotensi yaitu keluwak yang buahnya sering dimanfaatkan sebagai bumbu masakan rawon, khas Jawa Timur.

Keluwak memiliki nama botani Pangium Edule. Kata Pangium berasal dari bahasa melayu pangi sedangkan edule berasal dari bahasa latin edere yang berarti makan dan edule yang berarti dapat dimakan (sugianto, 1984). Keluwak dikenal dengan sebutan yang berbeda beda di berbagai daerah di Indonesia, misalnya: pangi (Melayu, Dairi, Sumbawa, Bugis, Minahasa, dan Ambon), gempangi atau hapesong (Toba), kepayang, kapencung, kapecong atau sinaung (Mingangkabau), pakem (Bali, Jawa timur, dan Kalimantan), pacung atau keluwak (Sunda), pucung (Jakarta dan Jawa), keluwak (Jawa), kayu tuba buah (Lampung), jeho (Enggano), kuam (Kalimantan), kalowa (Sumbawa dan Makasar), awaran (Manokwari), kapait (Buru dan Aru), calloi atau lioja (Seram), dan nagafu (Tanimbar) (Heyne, 1987).

Menurut Becker & Brink (1963), tanaman keluwak termasuk ke dalam family flacourtiaceae dengan sistematika sebagai berikut:

Gambar 2. Buah Keluwak


Buah keluwak dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng alternatif, karena buah keluwak tersebut mengandung asam lemak linoleat dan oleat yang cukup tinggi (Taufik, 2000). Selain itu, buah keluwak diketahui pula sebagai anti-oksidan non polar yang ditemukan antara lain a-, ?-, dan d-tokotrienol, sedangkan yang relative polarnya adalah asam karboksilat dan gula, yang merupakan glikon senyawa fenolik konjugat (Andarwulan et al., 1999). Dilaporkan bahwa senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri pada buah keluwak kemungkinan adalah glikosida sianogenik, tannin, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, dan asam gorlat (Indriyati, 1987).

Komponen fitokimia yang telah diuji dari beberapa ekstrak buah keluwak diantaranya yaitu, komponen yang terdapat pada ekstrak n-heksan yaitu steroid, triterpenoid, alkaloid, dan glikosida, sedangkan komponen yang terdapat pada ekstrak ethanol 50% yaitu golongan polifenol (tannin), fenol, dan flavonoid, serta komponen yang terdapat pada ekstrak akuades yaitu golongan alkaloid, flavonoid, fenol, tannin, saponin, dan senyawa anionik (Arifah dan Ninoek, 2008; Wibowo, 2008).

Selanjutnya fraksi-fraksi yang mempunyai daya antibakteri tinggi diuji lebih lanjut menggunakan kromatografi gas spektrofotometri massa (GC-MS) untuk mengetahui kemungkinan adanya asam-asam lemak yang bersifat antibakteri. Hasil analisis Hasil GC-MS adalah dari ekstrak etanol 50% terdapat senyawa metil alcohol (CH4O), etanol (C2H6O), etil ester (C4H8O2), asam 1,2- benzendikarboksilat, dietil ester (C12H14O4), sedangkan dari ekstrak akuades terdiri dari senyawa asam oktadekanoat (C11H34O2), asam 1,2- benzendikarboksilat, dietil ester (C12H14O4), Monokarbonil –(1,3 butadiena – 1,4 asam dikarbonat, dietil ester)- dipiridil tipe 1 (C12H22FeN2O5), (2-flourofenil) metil (C12H22FeN5), Monokarbonil –(1,3 butadiena – 1,4 asam dikarbonat, dietil ester)- dipiridil tipe 2 (C12H22FeN2O5), Monokarbonil –(1,3 butadiena – 1,4 asam dikarbonat, dietil ester)- dipiridil tipe 3 (C12H22FeN2O5) (Wibowo, 2008).

Buah keluwak juga dapat dipakai sebagai pembasmi hama, hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian mengenai ekstrak dari buah keluwak yang digunakan, diantaranya adalah:

  1. Hangesti (2008) mengatakan bahwa 2% buah keluwak dicampur dengan garam dapat mengawetkan ikan kembung segar (rastrelliger brachysoma) selama 6 hari, tanpa mengubah mutu. Di Kabupaten Pandeglang (Banten), para nelayan sudah umum menggunakan campuran buah keluwak dengan garam ini untuk pengawetan ikan dengan cara memasukkan campuran tersebut ke dalam perut ikan yang sebelumnya telah dikosongkan.
  2. Eliminasi anjing liar dalam rangka pemberantasan penyakit anjing gila (Yuningsih dan Damayanti, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mematikan anjing dengan berat badan 3,5 kg dalam waktu 1,5 jam, diberikan 5 ml larutan buah keluwak dengan konsentrasi 100% dengan cara cekok. Kematian yang cukup fatal ini disebabkan karena adanya pendarahan dan penebalan pembuluh darah pada paru paru anjing, diikuti dengan usus, lambung, dan limpa yang membengkak, merah kehitaman dan pendarahan pankreas. Sedangkan pada pemberian volume kecil (2,5 ml) tidak menyebabkan kematian, hanya keadaan anjing menjadi lemah dan pasif (tidak bergerak) sampai pengamatan 24 jam. Sedangkan pada pemberian volume besar (10 ml), beberapa menit setelah pemberian menunjukkan gejala sekarat, tetapi tidak menyebabkan kematian karena sebagian larutan buah keluwak dimuntahkan.
  3. Membunuh keong mas (Pomacea canaliculata) atau sebagai moluskisida botani.Menurut Mott (1987), bahwa senyawa kimia yang bersifat iritasi dan mudah larut dalam air akan mempercepat kematian moluska. Hal ini dapat terjadi karena terjadi adsorpsi (efek iritasi) pada permukaan cangkang moluska dan dengan cepat terjadi reaksi langsung senyawa kimia tersebut dengan bagian dalam tubuhnya. Sementara kedua sifat iritasi dan mudah larut dalam air tersebut merupakan sifat dari kedua senyawa benzaldehida dan sianida (hasil hidrolisis) yang terdapat dalam buah keluwak, sehingga buah keluwak cukup efektif sebagai moluskisida dan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pengganti moluskisida sintetik.
  4. Menghambat pertumbuhan bakteri.

Mengingat beberapa hasil penelitian pemanfaatan keluwak sebagai anti serangga, hama maupun sebagai anti bakteri yang sudah dipaparkan di berbagai media/ jurnal ilmiah dan dari hasil screening menggunakan metode analisis multi kriteria tentang manfaat keluwak sebagai anti serangga, maka kegiatan ini dilakukan untuk melakukan karakterisasi ekstrak dan fraksi keluwak untuk membasmi kutu rambut dengan lebih detil.


4.2. Ekstraksi dan Fraksinasi Buah Keluwak

Bagian-bagian keluwak yang dapat digunakan dan harus diekstraksi lebih dahulu adalah daging buah keluwak kering, daging buah keluwak segar dan daging buah keluwak yang sudah terfermentasi. Berikut adalah beberapa gambar buah keluwak.


Gambar 3. Buah keluwak segar berwarna putih, yang kering berwarna kekuningan dan yang terfermentasi berwana coklat.


Dalam gambar keluwak diatas, dua gambar yang paling atas adalah keluwak yang masih muda dan isi daging buahnya yang sudah agak kering. Sedang dua gambar ditengah adalah keluwak yang sudah matang dan isinya yang berwarna putih (gambar sebelah kanan tengah). Gambar paling bawah adalah gambar buah keluwak utuh disebelah kiri dan di sebelah kanan adalah gambar keluwak dengan daging buah yang sudah terfermentasi dan biasanya digunakan untuk campuran bumbu masakan rawon, khas Jawa Timur.

Untuk memanfaatkan daging buah keluwak secara efektif, maka ada beberapa metode ekstraksi yang dapat dilakukan guna mendapatkan senyawa aktif dari suatu bahan alam nabati seperti buah keluwak. Metode tersebut diantaranya adalah:

  1. Ekstraksi Maserasi
  2. Ekstraksi Soxhletasi
  3. Ekstraksi Perkolasi
  4. Ekstraksi Infundasi

Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya dan kemudian akan dipilih metode yang paling sesuai untuk mendapatkan fraksi aktif buah keluwak. Adapun kelebihan dan kekurangan masing-masing metode dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Perbandingan metode ekstraksi


Secara umum langkah-langkah sederhana untuk mempersiapkan sampel ekstrak daging buah keluwak berdasarkan kondisi fisiknya adalah sebagai berikut:

1. Ekstraksi Daging Buah Keluwak (DBK) Kering


2. Ekstraksi DBK basah


3. Ekstraksi DBK yang sudah terfermentasi

Berdasarkan berbagai pertimbangan, diantaranya ketersediaan alat dan mudahnya proses ekstraksi, keutuhan bahan yang akan diekstrak dan kuantitas ekstrak dan yang akan diperoleh, maka dalam kegiatan dipilih metode ekstraksi maserasi


4.3. Uji Toksisitas dan Efektifitas Ekstrak Keluwak

Sebagai produk obat, maka sebelum dipasarkan semua bahan harus memenuhi syarat uji toksisitas dan efektifitasnya. Berikut adalah hasil uji toksisitas dan efektifitas ekstrak keluwak.


4.3.1. Uji Toksisitas

Uji toksisitas bahan obat, terdiri dari uji iritasi terhadap mata dan kulit serta uji toksisitas oral akut. Kedua uji iritasi dilakukan dengan tujuan mengetahui dampak pemakaian ekstrak keluwak terhadap kulit dan mata hewan uji, maka akan dapat diketahui efeknya terhadap manusia. Sedangkan uji toksisitas oral akut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dan berapa dosis optimum efek ekstrak keluwak terhadap hewan uji apabila ekstrak keluwak tersebut tertelan.

a. Uji Iritasi Mata

Sebelum dilakukan uji iritasi mata, uji pendahuluan dengan menggunakan 1 ekor kelinci albino. Jika pada uji pendahuluan menunjukkan bahwa larutan uji mengakibatkan efek korosif pada mata, maka uji tidak perlu dianjutkan. Apabila hasil uji pendahuluan tidak enunjukkan efek korosif pada mata, uji dilanjutkan dengan menggunakan 4 hewan tambahan.

Uji iritasi terhadap mata dilakukan terhadap kelinci albino berusia sekitar 1,5 bulan dengan bobot 1,5 – 3 kg. Pada salah satu mata diteteskan larutan uji sebanyak 0,1 ml pada kantung konjungtiva kemudian kelopak mata kelinci ditahan sekitar 1 detik untuk menghindari keluarnya larutan uji. Mata lainnya dijadikan sebagai kontrol, dengan diberi NaCl fisiologis. Mata hewan uji tidak boleh dibilas minimal selama 24 jam setelah pemberian larutan uji.

Mata hewan uji diamati pada jam ke-1, 24, 48, dan 72 jam setelah pemberian larutan uji. Nilai dari lesi okuler (konjungtiva, kornea, dan iris) harus diamati dan diicatat pada setiap pemeriksaan. Perubahan atau lesi lain pada mata (pannus atau perubahan warna) atau efek sistemik lainnya yang terjadi pada hewan uji hendaknya dicatat. Berikut adalah sistem skoring penilaian efek korosif pada uji iritasi mata:

Kornea


Iris


Konjungtiva


Khemosis (Peradangan)

Dari hasil pengujian baik ekstrak etanol maupun ekstrak air keluwak secara keseluruhan tidak menimbulkan iritasi pada mata. Akan tetapi, pada jam ke-1 setelah pengaplikasian bahan uji, tampak bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol menimbulkan hyperemia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena respon normal terhadap bahan asing yang masuk ke dalam kantung konjungtiva kelinci. Akan tetapi, reaksi ini bersifat reversible dan konjungtiva kembali manjadi normal pada pengamatan jam berikutnya. Sedangkan untuk parameter lainnya, kelompok yang diberikan bahan uji relatif normal. Data rataan scoring untuk pengamatan ini ditampilkan pada Tabel 3 .

Tabel 3. Hasil Penilaian (Skoring) Pada Uji Iritasi Mata Akut Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol Keluwak

Gambar 4. Hasil Pengamatan Uji Iritasi Mata Akut Ekstrak Air Kluwak

Gambar 5. Hasil Pengamatan Uji Iritasi Mata Akut Ekstrak Etanol Kluwak


a. Uji Iritasi Kulit

Untuk uji iritasi kulit, digunakan hewan uji, kelinci. Kulit punggung kelinci dicukur dengan luas sekitar 6 cm2 kemudian ditutup dengan gauze patch. Jika tidak memungkinkan pengaplikasian secara langsung, larutan uji dapat diaplikasikan pada patch yang tidak menyebabkan iritasi kulit. Paparkan larutan uji selama 4 jam. Setelah dipaparkan, patch dilepaskan dari kulit hewan uji. Pengamatan dilakukan pada jam ke-1, 24, 48, dan 72. Jika iritasi tidak teridentifikasi hingga jam ke-72, pengamatan kembali dilakukan pada hari ke-14 untuk melihat reversibilatas dari efek.

Skoring reaksi kulit diidentifikasi dengan adanya eritema, pembentukan eskhar dan pembentukan udem


Eritema dan Pembentukan Eskhar

Pembentukan Udem


Dari hasil pengujian baik ekstrak etanol maupun ekstrak air keluwak secara keseluruhan tidak menimbulkan iritasi pada kulit. Parameter pengamatan dermal meliputi eritema dan udem. Keseluruhannya menunjukkan kondisi yang normal. Ekstrak yang berwarna membuat kulit kelinci yang diamati sedikit terwarnai pula. Akan tetapi, secara keseluruhan tidak teramati terjadinya iritasi pada kulit kelinci yang diaplikasikan bahan uji. Nilai rataan scoring untuk pengamatan ini ditampilkan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Penilaian (Skoring) Pada Uji Iritasi Dermal Akut Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol Keluwak

Langkah Pengujian Iritasi Dermal Akut :

  1. Pencukuran dan penandaan area pengaplikasian. Area yang mendekati bagian kepala kelinci digunakan sebagai area untuk bahan uji.
  2. Pengolesan bahan uji pada kulit kelinci
  3. Daerah yang telah dioles kemudian ditutup dengan kassa steril dan dilapisi plastik, kemudian diamankan dengan plester.
  4. Badan kelinci dibalut dengan perban untuk menghindari lepasnya kassa pada area pengolesan


Hasil Pengamatan Uji Iritasi Dermal Akut

Gambar 6. Hasil Pengamatan Uji Iritasi Dermal Akut


b. Uji Toksisitas Oral Akut

Uji toksisitas oral akut menggunakan hewan rodensia, dalam hal ini adalah tikus. Jika tidak ada indikasi bahwa tikus jantan lebih sensitif, sebaiknya digunakan tikus betina. Tikus yang digunakan harus memiliki rentang bobot badan serta usia yang seragam. Menurut OECD, pengujian toksisitas oral akut dilakukan dalam 2 hingga 4 langkah, sesuai dengan dosis awal yang digunakan.

Pengujian toksisitas oral akut dilakukan setelah pemberian suatu senyawa atau bahan pada dosis tunggal. Untuk bahan atau senyawa yang belum diketahui tingkat toksisitasnya, digunakan dosis 300 mg/ Kg. Hewan uji diamati dalam kurun waktu 24 jam untuk efek segera, serta diamati tiap hari selama 14 hari untuk mengetahui ada tidaknya efek tunda. Pengamatan di hari pertama dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam pertama, kemudian setelah 24 jam. Jika dari dosis 300 mg/ kg ternyata tidak toksik, maka dilanjutkan dengan dosis yang lebih besar. Sebaliknya jika penggunaan dosis 300 mg/kg mengakibatkan semua hewan mati, maka dosis diturunkan. Skema pengujian mengacu pada gambar berikut ini.


Gambar 7. Skema pengujian toksisitas oral akut (OECD, 2001)


Setiap tikus yang mati dibedah untuk mengetahui keadaan organ-organ secara kasat mata dan kemudian dilanjutkan histologi terhadap organ vital, terutama hati.


Uji Toksisitas Oral Akut











Penyiapan Sediaan Uji

Ekstrak keluwak (masing-masing untuk ekstrak air dan ekstrak etanol keluwak) dilarutkan dalam aquades hingga menghasilkan konsentrasi 200 mg/ml. Volume sediaan uji yang diberikan adalah 1 ml/100 gram bobot badan tikus. Sedangkan untuk kelompok kontrol, hewan hanya diberikan aquadest dengan volume pemberian 1 ml/100 gram bobot badan tikus.


Pelaksanaan Uji Toksisitas Akut Oral

Pengujian toksisitas akut oral dilakukan pada tikus betina galur Wistar dengan rentang bobot badan serta usia yang seragam. Setiap kelompok uji terdiri dari 5 ekor tikus. Seluruh hewan uji diaklimatisasi selama 5 hari sebelum dilakukan uji. Hewan uji diberi makan secara teratur dan diberi minum air matang ad libitum. Tikus dipelihara pada lingkungan yang sesuai dengan standar pemeliharaan hewan laboratorium.

Uji toksisitas oral akut dilakukan dengan menggunakan dosis paling tinggi, yaitu 2000 mg/kg bb. Jika tidak terjadi kematian pada kelompok dosis tertinggi, maka zat uji dapat dikategorikan sebagai kategori 5 atau tidak terklasifikasi. Jika terjadi kematian pada kelompok dosis tertinggi, pengujian dilakukan dengan melakukan pengujian kembali dengan menggunakan dosis yang lebih rendah sehingga dapat ditentukan kelompok/kategori toksisitas zat uji tersebut.

Dilakukan juga pengujian terhadap kelompok kontrol dengan pemberian pembawa, yaitu aquadest. Volume pemberian aquadest adalah 1 ml/100 gram bb. Kelompok kontrol diperlukan untuk menilai dan membandingkan aktivitas hewan uji terhadap kelompok kontrol yang tidak diberikan zat uji. Jika terjadi kematian setelah diadministrasikan zat uji, maka hewan perlu dibedah untuk mengetahui keadaan organ-organ secara kasat mata, dilanjutkan dengan histologi terhadap organ vital, terutama hati.


Hewan Uji

Tikus betina galur Wistar dengan bobot badan 130 - 180 gram dan usia 8 minggu, yang diperoleh dari Laboratorium Hewan, Sekolah Farmasi ITB.


Hasil Pengujian toksisitas

Pengamatan kematian

Ekstrak air keluwak dengan dosis 2000 mg/kg bb tidak menyebabkan kematian pada tikus Wistar betina, begitu pun dengan ekstrak etanol keluwak dosis 2000 mg/kg bb. Kedua jenis ekstrak tidak menyebabkan kematian pada tikus Wistar betina. Dengan demikian, ekstrak air keluwak dan ekstrak etanol keluwak dapat dikategorikan sebagai kategori 5/tidak terklasifikasi dan batas dosis toksik di atas 2000 mg/kg bb. Ekstrak air dan ekstrak etanol keluwak relatif tidak toksik pada pemberian secara oral.

Pengamatan perilaku

Pada parameter jumlah jengukan pada platform setelah pemberian zat uji hingga jam ke-4 mengalami penurunan. Akan tetapi, setelah 24 jam jumlah jengukan kembali naik. Aktivitas motorik tikus betina juga mengalami penurunan dan kembali normal 24 jam setelah pemberian ekstrak air keluwak. Meskipun terjadi penurunan aktivitas motorik, efek ini bersifat reversible dan kembali normal setelah 24 jam. Tidak ada perubahan pada parameter perilaku lainnya dibandingkan dengan hewan uji sebelum diberikan ekstrak air, yang meliputi: reflex pineal, reflex korneal, kemampuan menggelantung, retablismen, fleksi, haffner, dan pernafasan. Hewan mengalami penurunan grooming dari waktu ke waktu. Urinasi relatif meningkat setelah pemberian zat uji. Untuk defekasi terjadi sedikit peningkatan, tetapi secara keseluruhan relatif sama. Tidak ada perubahan berarti dari seluruh parameter perilaku pada kelompok tikus yang diberikan ekstrak air keluwak dengan dosis 2000 mg/kg bb. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada tabel A dan B di bagian lampiran.

Jumlah jengukan tikus pada platform pada kelompok hewan yang diberikan ekstrak etanol keluwak dosis 2000 mg/kg bb mengalami penurunan hingga jam ke-4, tetapi kembali naik pada pengamatan jam ke-24. Aktivitas motorik pun mengalami penurunan hingga jam ke-1 pengamatan setelah pemberian ekstrak etanol keluwak. Aktivitas motorik normal kembali pada jam ke-4 pengamatan dan sebanyak 20%-nya mengalami peningkatan aktivitas pada pengamatan jam ke-24. Penurunan aktivitas ini pun sifatnya reversible dan kembali normal. Sedangkan untuk parameter lainnya (refleks pineal, refleks korneal, kemampuan menggelantung, retablishment, fleksi, haffner, grooming, defekasi, urinasi, dan pernafasan), tidak ada perubahan yang berarti pada kelompok tikus Wistar betina setelah diberikan ekstrak etanol keluwak dosis 2000 mg/kg bb.


Hasil penimbangan bobot badan

Secara umum, tidak terjadi penurunan bobot badan pada kelompok hewan uji yang diberikan ekstrak air keluwak dan ekstrak etanol keluwak. Penambahan bobot badan ini menunjukkan hewan tumbuh dengan baik dan tidak terjadi gangguan pada kelompok hewan uji setelah pemberiaan sediaan.

Selama 14 hari setelah administrasi zat uji, tidak ada gejala toksisitas yang muncul pada kelompok hewan ekstrak air maupun ekstrak etanol keluwak. Rataan perkembangan bobot badan masing-masing kelompok uji ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Data Bobot Badan Hewan (gram) Selama 14 Hari pada Uji Toksisitas Oral Akut

4.4. Analisis Potensi Dampak Lingkungan Produksi dan Pemanfaatan Keluwak untuk Pengganti Lindan

Analisis dampak lingkungan pemanfaatan keluwak untuk pengganti Lindan dilakukan dengan membagi proses menjadi dua, yaitu :


4.4.1. Analisis Dampak Lingkungan dari Kegiatan Pembangunan Pabrik Pembuatan Bahan Baku Obat Pembasmi Kutu
        Rambut Berbahan Dasar Keluwak

Pembangunan pabrik keluwak sebagai pabrik untuk produksi obat kutu pengganti lindan (dengan merek dagang Peditox), seperti halnya pembangunan pabrik kimia lain akan melibatkan beberapa hal terkait dengan penyediaan bahan baku, konstruksi dan instalasi unit pemroses, serta penyediaan utilisasi penunjang proses. Dalam prosesnya, hal ini akan memiliki dampak bagi kondisi lingkungan sekitar baik secara fisik (lingkungan) maupun social (masyarakat).

Terkait dengan penyediaan keluwak sebagai bahan baku utama dalam proses formulasi senyawa anti kutu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama terkait dengan karakteristik pohon keluwak itu sendiri, bagaimana persebarannya di Indonesia, kemampuannya dalam menghasilkan buah dilihat dari segi kuantitas, kualitas, dan periode berbuah, serta jika kemudian perlu dilakukan budidaya akan seperti apa pengaruh yang dihasilkan. Proses budidaya ini lebih lanjut lagi bisa dianalisis pengaruhnya terhadap pembukaan lahan yang berakibat pada deforestasi atau perubahan fungsi lahan.


a. Karakter tanaman keluwak

Keluwak diperoleh masyarakat dengan cara mengambil dari pohon yang tumbuh dari tempat yang terletak kurang lebih 1000 meter di atas permukaan laut. Pohon dari setiap satuannya kurang lebih tingginya 40 meter dan diameter batangnya 2,5 meter. Sumber lain menyatakan bahwa tanaman ini tumbuh di hutan hujan tropika basah dan merupakan tanaman asli yang tumbuh mulai dari Asia Tenggara hingga Pasifik Barat, termasuk di Indonesia. Keluwak yang merupakan anggota famili Flacourtiaceae mampu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.500 m dpl.

berbatang lurus yang tingginya mampu mencapai 60 meter dengan diameter batang mencapai 120 cm. Percabangannya tidak terlalu rapat. Daunnya berbentuk jantung, dengan lebar 15 cm. dan panjang 20 cm. berwarna hijau gelap dan mengkilap di bagian atas, sementara bagian bawahnya agak keputihan dan sedikit berbulu.

Untuk produksi obat anti kutu yang digunakan untuk menggantikan linden, bagian keluwak yang diambil adalah bagian daging buahnya saja. Daging buah putih dan lunak. Biji keluwak bertempurung, berbentuk asimetris, dengan ukuran 3 – 4 cm. Tempurung biji bertekstur dengan warna cokelat kehitaman. Ketebalan tempurung antara 3 sd. 4 mm. dan sangat keras. Daging biji berwarna sangat putih. Daging buah ini kemudian diproses melalui rangkaian proses ekstraksi dan fraksinasi untuk mendapatkan zat aktif beserta formulasinya. Namun, selain daging buah, bagian lain juga memiliki manfaat yang sudah cukup banyak pemanfaatannya bagi masyarakat, misalnya sebagai berikut.

Selain untuk menghilangkan kutu rambut, biji daging keluwak juga bisa digunakan untuk menghilangkan kutu pada kerbau, membuat minyak sebagai pengganti minyak kelapa.dan juga sebagai pengawet ikan. Selama ini pohon keluwak tumbuh secara liar di lahan kosong dan lahan hutan tanpa melalui proses budidaya. Pengambilan buah biasanya dilakukan secara sporadic sesuai dengan musim berbuah pohon tersebut yang pada umumnya adalah beberapa bulan sekali. Pohon akan berbuah setelah berumur beberapa tahun. Artinya butuh waktu yang cukup lama untuk menghasilkan buah. Sementara itu sekali berbuah, satu pohon dapat menghasilkan buah banyak.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, sebenarnya terdapat kesulitan dalam penjagaan kontinuitas ketersediaan bahan untuk menjaga pabrik beroperasi secara kontinu atau berkesinambungan. Jika tidak melakukan upaya manajemen budidaya berupa pengaturan jarak tanam, maka pabrik akan memiliki rentang periode tanpa operasi.


b. Undang-Undang Terkait Dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dikaitkan Dengan Proses Budidaya Tanaman Keluwak
   Sebagai Bahan Baku Utama Dalam Proses Formulasi Bahan Anti Kutu

Berdasarkan pertimbangan terkait dengan karakteristik pohon keluwak dan pemanfaatannya untuk produksi obat kutu pengganti lindan, perlu dilakukan analisis perundangan terkait misalnya:
     • UU RI No. 12 tahun 1992, tentang Sistem Budi Daya Tananam.
     • UU RI No. 23 tahun 1997, tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
     • Keputusan Presiden RI Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung


c. Pentingnya Analisis Dampak Lingkungan Terhadap Proses Pembangunan Pabrik Obat Anti Kutu Dari Keluwak

Setiap pabrik kimia termasuk pabrik obat sekalipun akan memiliki dampak bagi lingkungan sekecil apapun itu, baik itu dampak negative maupun dampak positif. Pentingnya menganalisis dampak lingkungan ini diatur dalam berbagai peraturan, misalnya:

Peraturan-peraturan tersebut menajdi penting untuk diketahui karena pengembangan pabrik obat kutu dari keluwak akan secara otomatis memicu adanya budidaya keluwak itu sendiri menjadi komoditas perkebunan atau sejenisnya, karena hanya dengan mengandalkan ketersediaan di alam tidak akan memenuhi kelayakan pabrik ini sebagai pabrik yang mampu melaksanakan operasi secara kontinyu.

Selain itu, pemahaman aspek AMDAL dalam pembangunan pabrik akan membawa manfaat yang signifikan bagi pengurangan dampak negative yang kemungkinan terjadi di masa mendatang.


d. Analisis dampak sosial yang mungkin terjadi

Akibat pembukaan lahan untuk perkebunan keluwak juga untuk pembangunan pabrik keluwak itu sendiri, diharapkan hal-hal sebagai berikut:



Gambar 8. Diagram Alir Proses Pelingkupan Dampak Pembangunan Perkebunan Singkong dan Nenas

Kemungkinan analisis dampak yang terjadi akibat pembangunan pabrik obat berbasis bahan alam keluwak:

Tabel 5. Analisis Dampak

Keterangan : -P = Negatif Penting, +P = Positif penting

Tahap Konstruksi :

1.Pembuatan jalan

2.Pembukaan lahan

3.Penggunaan tenaga kerja

Tahap Operasi :

1.Penanaman

2.Pemanenan dan pengangkutan

3.Pengolahan

4.Penggunaan tenaga kerja

4.4.2. Analisis Dampak Lingkungan dari Operasi Pabrik Pembuatan Bahan Baku Obat Pembasmi Kutu Rambut (Serangga) Berbahan Dasar Keluwak

a. Uraian Proses Produksi

Pemanfaatan keluwak sebagai obat pembasmi kutu rambut memiliki rangkaian proses yang hampir sama dengan pabrik obat atau jamu pada umumnya. Maka, aliran proses untuk produksi obat pembasmi kutu rambut berbahan baku keluwak dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 9. Aliran proses produksi obat pembasmi kutu rambut berbahan baku keluwak

b. Limbah yang Dihasilkan Selama Produksi

Adapun limbah yang dihasilkan oleh proses pengolahan daging bijji keluwak ini menjadi pengganti lindan adalah sebagai berikut :

1.Limbah Padat. Limbah padat yang dihasilkan antara lain adalah tempurung biji keluwak yang merupakan bagian terluar dari biji keluwak yang sifatnya sangat keras. Selain itu limbah padat yang lain berupa kulit air dari daging biji keluwak yang biasa menempel pada dagingnya, dan limbah yang lain adalah ampas daging biji keluwak setelah diambil ekstrak zat aktifnya.

2.Limbah Cair. Limbah cair yang dihasilkan berupa pelarut etanol yang digunakan untuk mengekstrak zat aktif dalam daging biji keluwak, air pencuci, air dari peralatan heat exchanger, serta air hasil perasan ekstrak daging biji keluwak yang tidak dipakai.

3.Limbah Gas. Limbah gas dalam produksi obat kutu ini yang paling berbahaya adalah asam sianida. Karena sifat asam sianida yang beracun dan menguap apad suhu 25 oC.Selain itu limbah gas berikutnya adalah debu-debu yang berterbangan ketika proses penggilingan bahan. Limbah gasgas hasil berikutnya berupa asap keluaran cerobong.

c. Identifikasi Air Limbah

Air Limbah yang dihasilkan dari proses produksi farmasi pada umumnya memiliki karakteristik yang hampir sama. Dalam hal ini karena pada kenyataannya, pabrik obat kutu dari biji keluwak ini belum ada maka diambil salah satu contoh karakteristik limbah cair suatu pabrik farmasi yang dalam hal ini digunakan data dari pabrik PT. Sido Muncul (Tabel ). Sementara, limbah cair tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah. Dari peraturan daerah nomor 10 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air limbah Bagi Kegiatan Industri Jamu dan Fa

Views: 3626