Penulis: Rosliana
Setiap aktivitas industri akan membawa serta resiko tertentu terhadap kegagalan peralatan atau peristiwa yang tidak dikehendaki yang dapat berkembang menjadi suatu kecelakaan. Hasilnya dapat berupa kecelakaan perorangan, kerusakan peralatan serta hilangnya/menurunnya produksi dan barang serta lingkungan di sekitar tercemar akibat B3 tersebut. Resiko tersebut dapat terjadi baik di dalam lokasi industri maupun di luar lokasi pada saat B3 tersebut diangkut, didistribusikan maupun digunakan. Semakin meningkatnya penggunaan B3 dalam proses produksinya, maka akan meningkatkan mobilitas penggunaan B3 itu sendiri, hal ini secara langsung akan turut meningkatkan pula resiko kecelakaan industri. Pada saat ini jutaan jenis bahan kimia yang telah diidentifikasi dan dikenal, berarti resiko terjadinya kecelakaan semakin beragam sesuai dengan karakteristik jenis B3 tersebut. Tanggap darurat terhadap kecelakaan tersebut sangat diperlukan baik diakibatkan oleh manusia, teknologi maupun akibat bencana alam. Untuk itu perlu dibuat suatu sistem atau mekanisme tanggap darurat akibat kecelakaan B3 yang nantinya akan dituangkan dalam suatu pedoman yang akan digunakan para pihak (stakeholder) terkait.
Menurut Penjelasan Pasal 19 PP 74/2001 Sistem tanggap darurat adalah mekanisme atau prosedur untuk menanggulangi terjadinya malapetaka dalam pengelolaan B3 yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, sehingga bahaya yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin.
Menurut Pasal 1 PP 101/2014 Sistem Tanggap Darurat adalah sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3.
Tujuan adanya SistemTanggap Darurat
Memberikan pedoman kepada pemerintah, penanggungjawab usaha dan masyarakat dalam mencegah, menanggulangi dan melakukan pemulihan (dekontaminasi) lingkungan hidup dari lepasan dan emisi B3 akibat kecelakaan B3.
Potensi Bahaya B3
Gambar 1. Siklus Pengelolaan B3
Dari siklus di atas potensi resiko kecelakaan B3 dapat terjadi pada tahapan dimana terdapat aktivitas penyimpanan dan pengangkutan B3. Pada proses produksi dapat terjadi kecelakaan B3 akibat malfunction teknologi alat maupun proses.
Adapun kategori sifat bahaya B3 mengacu kepada GHS yang terdiri dari bahaya terhadap fisik, bahaya terhadap kesehatan dan bahaya terhadap lingkungan.
Bahaya B3 tersebut dapat terjadi pada aktivitas pengangkutan dan penyimpanan B3 sebagaimana data-data di bawah ini.
Tabel 1. Kejadian kecelakaan pengangkutan B3
No | FaseTransportasi | Kecelakaan | Dirawat | Tidak Dirawat | Kerugian |
1 | In Transit | 5296 | 4 | 26 | $491,949,136 |
2 | In Transit Storage | 568 | 0 | 8 | $8,824,410 |
3 | Loading | 3251 | 1 | 18 | $3,226,993 |
4 | Unloading | 7857 | 5 | 75 | $3,296,031 |
Sumber: Hazmat Intelligence Portal, U.S. Department of Transportation. Data as of 1/15/2017.
Data kecelakaan pengangkutan diperoleh dari Jasa Marga (2004-2016)
Awal tahun 2004, telah terjadi ledakan pada tangki B3 Phthalic anhydride dan Maleic anhydride yang merupakan bahan untuk pelemas plastik di pabrik PT. Petro Widada, Gresik, Jatim.
Pada hari Selasa, 5 Mei 2015di daerah Grogol arah Pluit/Bandara, kendaraan container menabrak kendaraan tanki bermuatan AsamSulfat. Muatan Asam Sulfat tumpah kejalan tol, yang setelah mengenai aspal mengeluarkan asap. Beberapa pengguna jalan yang akan menuju Bandara tetap memaksa lewat menerobos tumpahan Asam Sulfat. Dilakukan penyemprotan/pembe rsihan tumpahan Asam Sulfat dengan air olehbantuan 2 (dua) kendaraan Damkar dari Sudin Damkar Jakarta Barat. Informasi dari warga di kolong jembatan Angke, ada seorang ibu bernama Sumiyati (30 tahun) telah meninggal dunia diduga akibat terdampak tumpahan bahan kimia Asam Sulfat. Lima puluh lima (55) pengguna jalan yang terdampak tumpahan asam sulfat mengajukan komplain.
PadahariSabtu, 3September 2016, Truk LPG Pertamina B 9219 UFU dari arah Jakarta menuju Ciawi berhenti di bahu jalan karena mengalami kerusakan mesin (selang BBM pecah). Pengemudi telah menarik rem tangan dan mengganjal ban. Selang beberapa lama kendaraan tersebut mundur dengan sendirinya hingga menabrak median dan terguling menutup lajur. Proses evakuasi menggunakan Rescue Truck dan Crane pada tanggal 3 September 2016. Evakuasi lanjutan menggunakan Crane tanggal 4 September 2016.
Pada hari Kamis, 08 September 2016, Truk Tangki Pertamina bermuatan Pertamax 32.000 liter dari arah Surabaya menuju ke arah Porong oleng ke kiri menabrak pilar jembatan langsung terjadi ledakan dan terbakar kemudian oleng ke kanan menabrak kendaraan Avanza mengakibatkan kendaraan Avanza ikut terbakar. Lalu lintas di kedua arah (Jalur A dan B) ditutup dan dialihkan keluar gerbang tol terdekat. Kobaran api berhasil dipadamkan dua jam setelah kejadian dengan mengerahkan 5 unit PMK. Pengemudi kendaraan Avanza menjadi korban jiwa karena terbakar di dalam kendaraan;
Mekanisme/Sistem Tanggap Darurat B3 dan Limbah B3
KLHK sedang mengembangkan mekanisme Sistem Tanggap darurat B3 dan Limbah B3, adapun yang penulis paparkan dibawah ini adalah merupakan rangkuman dan analisis dari pembahsan dan studi yang sedang dan sudah dilakukan oleh KLHK
Sistem Tanggap Darurat menggunakan azas-azas yang terdapat dalam UU 32 Tahun 2009 yaitu azas keterpaduan, azas kehati-hatian, azas Polluter Pay Principle, asas tanggungjawab, serta azas cepat dan operasional.Dalam system tanggap darurat melibatkan 3 stakeholder yaitu Pemerintah, Industri/Jasa B3 dan Masyarakat sebagaimana bagan di bawah ini. Sebagaimana tercantum dalam PP 74 pasal 24, 25, 26, 27, bahwa ketiga stakeholder tersebut berperan dalam sistem tanggap darurat, sesuai dengan peran dan tanggungjawab masing-masing. Garis komando harus jelas untuk menghindari kesimpangsiuran pelaksanaan tanggungjawab dan peran sebagaimana gambar di bawah ini.
Gambar 3. Keterlibatan Stake Holder dalamSistemTanggapDarurat
Gambar 4. Bagan Garis Komando yang distudi oleh Program Cilegon Serang Emergency Prepadness Program (Western Java) Environmental Management Project) Tahun 2004.
Dalam sistem tanggap darurat tidak membedakan antara B3 dan limbah B3. Sistem tanggapdarurat yang dibangun adalah sama. Dikarenakan secara teknis dampak B3 danLimbah B3 adalah sama. Disamping itu juga apabila mengacu kepada aturan nasional di bidang pengangkutan B3 ataupun Limbah B3 yang dikeluarkan Kemenhub adalah sama, dimana Kemenhub mengacu kepada MDGs Code (Material dangerous Goods Code) yang mengacu kepada IMO (International Maritim Organization) dan UNEP. Di bidang pengangkutan nasional maupun internasional, B3 dan Limbah B3 dikategorikan sebagai Dangerous Goods. Tanggap darurat di pabrik (in plant)/mandiri dapat mengacu kepada Occupational Safety and Health Administration (OSHA) atau Kemenaker.
Pada dasarnya industri yang mengolah dan menangani bahan yang mudah meledak, mudah terbakar seperti minyak bumi dan gas alam, bahan-bahan kimia B3 yang reaktif atau tidak stabil atau produk antara, memiliki resiko yang tinggi terhadap suatu bencana industri.
Untuk menghadapi hal tersebut, Kantor Industri dan Lingkungan (IEO) Amerika Serikat dan Program Lingkungan PBB (UNEP) berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari CMA (Asosiasi Industri Kimia Amerika Serikat) telah mengembangkan suatu program yang disebut Awareness and Prepadness for Emergency at Local Level (APELL). Program ini merupakan kesadaran dan kesiapan menanggulangi keadaan darurat pada tingkat lokal. APELL terutama ditujukan bagi bahaya yang terjadi di dalam kawasan industri dan pada bergeraknya bahan berbahaya di lingkungan sekitar kawasan industri tersebut dan ini tidak membedakan B3 ataupun Limbah B3, tetapi yang dilihat adalah bahayanya.
Pelaksanaan proses APELL akan melibatkan penduduk dan seluruh masyarakat baik lokal, regional, maupun internasional. Perbatasan teritorial atau yuridiksi sebaiknya tidak membatasi partisipasi semua unsur yang terkait di dalam proses APELL, sebaliknya menggarisbawahi kebutuhan proses APELL dalam mengembangkan rancangan penanggulangan keadaan darurat yang terkoordinasi.
Dalam konteks kesadaran dan tanggap darurat, harus dipusatkan pada kecelakaan utama, yaitu kecelakaan yang menghasilkan efek-efek hingga di luar batas-batas wilayah perusahaan. Fokus ini hanya didasarkan pada asumsi bahwa efek-efek yang tidak meluas ke luar batasan-batasan lokasi perusahaan tersebut, maka berarti tidak perlu diaktifkan suatu rencana tanggap darurat bagi masyarakat.
Prinsip dasar APELL adalah meliputi sebagai berikut :
Mekanisme ini sudah diakomodir oleh PP 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 pasal 24-27 serta PP 101/2014 tentang pengelolaan Limbah B3 pasal 217 – pasal 236.
Adapun Rencana Tanggap Darurat (Emergency Response Plan) merujuk kepada OSHAS yang perlu disusun meliputi :
Sedangkan penanggulangan keadaan darurat meliputi:
1) Melakukan kajian cepat penyebab, kelas hazard, dan luasan area terpapar
2) Menugaskan Tim untuk melakukan pengukuran lepasan dan atau emisi B3
3) Menugaskan Tim yg terlibat langsung di lokasi (dibagi dalam zona area terpapar: panas, sedang dan dingin)
4) Melakukan penanganan terhadap B3 sesuai dengan karakteristik
5) Menugaskan Tim pendukung peralatan penanggulangan, pengoperasian peralatan teknis di sekitar lokasi kecelakaan dan medis
6) Menyampaikan informasi kepada publik.
6. Penggunaan jenis APD yang sesuai kelas hazard
Sistem Pembiayaan
Daftar Pustaka
Views: 46998