Tantangan Penerapan Kebijakan Penghapusan Merkuri di PESK

Penulis : Asep Setiawan, SPt., MSc.

Tantangan besar komitmen dan kesiapan pemerintah dalam rencanapenghapusan Merkuri pada kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK ) di tahun 2020. Setidaknya ada 2 (dua) event penting yang sudah dilakukan, KLHK sejak tahun 2015 telah menginisiasi penyusunan National Implementation Plan (NIP) Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan 20 September 2017, Indonesia secara resmi telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri.

Merkuri atau yang biasa disebut dengan air raksa adalah unsur kimia dengan simbol Hg. Merkuri merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup karena bersifat toksik, persisten, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfir.

Dokumentasi: Direktorat B3-KLHK

Merkuri umumnya digunakan pada kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) dengan tujuan untuk mengekstrak emas dari bijih dengan membentuk Amalgam sebagai hasil campuran antara merkuri dan emas dengan rasio yang berbeda-beda disetiap daerah. Amalgam yangterbentuk kemudian dipanaskan untuk menguapkan Merkuri dari campuran,sehingga hanya emas yang tersisa. Penggunaan merkuri sangat efektif menurut mereka karena dianggap lebih murah, cepat, dan mudah.

Menurut World Bank, PESK memiliki potensi yang besar dalam memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi khususnya bagi masyarakat kurang mampu yang tinggal di perdesaan dan daerah-daerah pinggiran. PESK dianggap sebagai sebuah mekanisme ekonomi yang dapat menyediakan lapangan kerja dan mengurangi tingkat pengangguran.Dampak positif ekonomi PESK tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang terlibat langsung dalam penambangan tetapi juga bagi mereka yang terlibat dalam bisnis-bisnis pendukungnya seperti penyediaan kebutuhan logistik, bengkel-bengkel peralatan, dll.Selain sumbangan positif terhadap ekonomi, PESK dianggap sebagai kegiatan usaha yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.Metode penambangan dan pengolahan yang tidak didasarkan pada kaidah-kaidah good mining practice adalah faktor utama penyebab pencemaran dan degradasi lingkungan.Mereka biasanya popular menggunakan merkuri dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya untuk mengekstrak emas.Mereka juga membuang limbah atau tailing yang mengandung bahan berbahaya tersebut tanpa melalui prosestailing treatment terlebih dahulu.

Contoh di beberapa lokasi di Jawa Barat (Kab. Sukabumi, Kab. Bogor dan Kab.Tasikmalaya), Provinsi Banten (Kab.Lebak), dan Sulawesi Utara (Kab.Bolaang Mongondow Utara) serta pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil lainnya, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi. Merkuri banyak digunakan sejak lama oleh para penambang emas dalam wilayah yang cukup luas.Mengingat sifat merkuri yang berbahaya dan termasuk logam bahan berbahaya dan beracun (B3), maka penyebaran logam ini perlu diawasi agar penanggulangannya dapat dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu, untuk menekan tingkat bahaya dan jumlah limbah merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan, maka diperlukan perbaikan sistem tatakelola mulai dari penyimpanan kemasan merkuri, penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) bagi operator seperti halnya penggunaan masker pada saat memproses amalgam menjadi bullion serta upaya pengolahan/treatment sederhana untuk meminimalisir jumlah tailing limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas.

   

Dokumentasi: Asep

Mengapa pemantauan penggunaan merkuri pada kegiatan PESK penting dilaksanakan, karena hal tersebut sehubungan dengan partisipasi aktif pemerintah Indonesia dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee on a Global Legally Binding Instrument on Mercury yang membahas tentang rencana pengaturan penggunaan dan pengelolaan merkuri sedunia. Di samping itu, dari beberapa penelitian sebelumnya, semakin meningkatnya aktifitas penambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri telah mengindikasikan adanya resiko pencemaran lingkungan oleh merkuri dan potensi gangguan terhadap kesehatan masyarakat sekitar.

Kementerian ESDM Provinsi Jawa Barat, Inspektur Tambang disaat koordinasi dengan Tim Lapangan Direktorat Pengelolaan B3_KLHK memberikan penjelasan bagaimanasikap Pemerintah Daerah terkait perkembangan kegiatan PESK, Pemda Provinsi Jawa Barat tidak memiliki data resmi tentang kegiatan PESK dan jumlah penggunaan merkuri, karena kegiatan PESK dianggap kegiatan illegal/Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) sehingga tidak menjadi bagian pembinaan ESDM Provinsi Jawa Barat. Apabila terdapat kasus terkait dengan PESK, sudah ada kesepakatan penanganan langsung dilakukan melibatkan Polda berkoordinasi dengan Polres setempat dan ESDM.

Beberapa lokasi potensi kegiatan PESK di wilayah Jawa Barat antara lain tersebar di: Kecamatan Simpenan, Kecamatan Ciemas, Kecamatam Cisolok, Kecamatan Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi. Kecamatan Cempaka (dikelola oleh PT. Cikondang Kencana Prima) dan Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur.Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung (sekitar Stadion Jalak Harupat). Kecamatan Salopa, Kabupaten TasikmalayaKecamatan Cikajang, Kecamatan Bungbulang, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut. Di Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya terdapat tempat pengolahan batu sinabar yang diambil dari Pulau Seram (Gunung Tembaga), MalukuKecamatan Cariu, Kecamatan Pongkor, Kecamatan Nanggung, Cigudeg, Kabupaten Bogor

Upaya penghentian penggunaan merkuri di PESK sangat sulit dilakukan dengan tersedianya bahan merkuri yang diolah di dalam negeri.Kegiatan PESK dengan pekerja tambang berkelompok dalam jumlah ratusan yang di danai para cukong dan di back up oleh aparat sangat sulit untuk diberantas.Para pekerja di PESK cenderung menolak apabila ada kunjungan ke area tambang, walaupun kegiatan yang dilakukan berupa penelitian.

Konvensi Minamata disahkan di Kumamoto, Jepang pada tanggal 10 Oktober 2013.Indonesia, merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian internasional ini. Konvensi Minamata mengatur merkuri dan senyawa merkuri di bidang perdagangan, termasuk di dalamnya pertambangan merkuri; penggunaannya sebagai bahan tambahan di dalam produk dan proses produksi; pengelolaan merkuri di pertambangan emas skala kecil (PESK); pengendalian emisi dan lepasan merkuri dari industri ke udara, air dan tanah; penyimpanan stok/cadangan merkuri dan senyawa merkuri sebagai bahan baku/ tambahan produksi; pengelolaan limbah merkuri dan lahan terkontaminasi merkuri; serta kerjasama internasional dalam pengelolaan bantuan teknis, pendanaan dan pertukaran informasi.

Sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung penerapan Konvensi Minamata, sejak tahun 2015 telah menginisiasi penyusunan National Implementation Plan (NIP) Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait.Target penghapusan merkuri dilokasi PESK merupakan bagian dari pengaturan Konvensi Minamata I pasal 7.Penyusunan dokumen NIP ini merupakan mandat dari Pasal 20 Konvensi Minamata yang memuat tentang kewajiban Negara Pihak untuk membuat dan melaksanakan rencana penerapan terhadap kewajiban-kewajiban yang ada dalam Konvensi.

Konvensi Minamata mengenai Merkuri, merupakan instrument hukum internasional untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri anthropogenic. Indonesia menandatangani Konvensi Minamata mengenai Merkuri pada tanggal 10 Oktober 2013 dan 20 September 2017, Presiden Republik Indonesia secara resmi telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri). Pemerintah Indonesia telah secara resmi melakukan depository kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika pada tanggal 22 September 2017.

Pada pembahasan RAPERPRES di pengujung tahun 2017 tentang Rencana Penerapan Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia (Program RPN-PPM) Tahun 2018 – 2025 Direktur Pengelolaan B3-KLHK, Yun Insiani menyampaikan sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya penanganan nasional diantaranya: 1) Pengesahan Konvensi Minamata melalui UU 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury, 2) Presiden RI mengeluarkan Perintah Presiden RI kepada Kapolri dan Gubernur Maluku untuk menutup tambang emas ilegal di wilayah Gunung Botak, Pulau Buru, 3) Arahan Presiden RI pada Rapat Kabinet Terbatas 9 Maret 2017, 4) Surat Edaran Menteri LHK kepada seluruh Gubernur/Walikota perihal Penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin dan Penghentian Penggunaan Merkuri, 5) Penerbitan Surat Edaran Menteri ESDM kepada seluruh Gubernur tentang Pelarangan Penggunaan merkuri pada pertambangan emas, 6) Pelarangan impor merkuri untuk pertambangan emas skala kecil melalui Permendag No. 75 Tahun 2014, dan 7) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Merkuri pada Pengolahan Emas 2014-2018 serta Rencana Aksi Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat Pajanan Merkuri 2016-2020.

Menyadari bahwa isu penghapusan merkuri dilokasi PESK tidak mudah dan memerlukan waktu panjang serta perlu adanya pendekatan yang komprehensif melibatkan pihak-pihak terkait seperti tokoh masyarakat, among praja di tingkat desa, kecamatan serta instansi pemerintah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Pada kesempatan Workshop ASGM Baseline, Maret 2018 di Menado, Direktur Pengelolaan B3-KLHK, Yun Insiani kembali menegaskan beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan melibatkan sektor dan stakeholders terkait penerapan Aksi Nasional Penghapusan Merkuri di PESK mulai 2016 hingga saat ini adalah: 1) Moratorium aktivitas penambangan batu sinabar, b) Sejak tahun 2016 telah dilakukan 41 kali penindakan di 8 Polda dengan menyita 21 Ton merkuri dan 31 Ton sinabar, 3) Kajian alternatif teknologi pengolahan emas bebas merkuri dan pengelolaan limbahnya termasuk tailing, 4) Pembangunan fasilitas/teknologi pengolahan emas bebas merkuri dan pengelolaan limbahnya di Kab. Lebak, 5) Penyiapan lokasi penyimpanan merkuri dan limbah merkuri yang ramah lingkungan (Lokasi: Rumpin, Bogor) serta penyusunan pedoman penyimpanan, 6) Percontohan pemanfaatan lahan bekas PESK menjadi lokasi edu-ekowisata dan timber-site di Kampung Ciguha, Pongkor, Kabupaten Bogor yang dikelola oleh masyarakat bekas penambang bekerjasama dengan PT ANTAM, 7) Sosialisasi dan peningkatan kapasitas mengenai penanganan dampak merkuri kepada masyarakat dan tenaga medis di 12 provinsi dan 15 Kab/Kota, 8) Pelatihan teknologi pengolahan emas non-merkuri di Kab. Pacitan dan Kab. Lombok Barat, dan 9) Penyusunan DED untuk Pemulihan Lahan Terkontaminasi di Tahura Poboya dan Kab. Lebak.

Fakta di lapangankondisi masyarakat sebagian besar saat ini masih menggunakan merkuri dan memandang bahwa merkuri merupakan bahan kimia efektif yang besar manfaatnya untuk proses pengolahan emas dibandingkan dengan metode lainnya. Mensikapi rencana pemerintah dan tantangan kedepan implementasi target penghapusan Merkuri di PESK beberapa isu yang menjadi sorotan masyarakat khususnya untuk mewujudkan RAN tersebut, adalah kesiapan pemerintah untuk penyediaan substitusi merkuri dengan bahan atau metode lain yang ramah lingkungan dengan tetap mengedepankan kelembagaan masyarakat, pemberdayaan tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial masyarakat yang mandiri dan kondusif serta kepedulian terhadap lingkungan menuju pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.

Pemerintah perlu memikirkan bagaimana bentuk pengalihan pekerja tambang sesuai dengan kondisi daerah setempat dan kepastian hukum untuk menghentikan pengolahan batu sinabar menjadi merkuri. Selain itu beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan pemerintah kedepan: 1) Harus ada kepastian dan komitmen kebijakan nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri pada PESK, 2) Kepastian pelaksanaan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk percepatan Penghapusan Merkuri pada PESK, 3) Mengurangi dan jika memungkinkan menghilangkan penggunaan dan pelepasan ke lingkungan dari senyawa merkuri dan merkuri yang digunakan pada Pertambangan Emas Skala Kecil, 4) Peningkatan kinerja lingkungan dan ekonomi secara keseluruhan dari Sektor PESK dan untuk mengatasi setiap dampak sosial negatif yang kemungkinan akan terjadi serta 5) Menerapkan penggunaan teknologi yang tepat, murah dan mudah diterapkan pada PESK.

Daftar Pustaka

Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kehutanan, (2018). Paparan Direktur Pengelolaan B3 pada Pembahasan RAPERPRES Rencana Penerapan Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia (Program RPN-PPM) Tahun 2018 – 2025;

merkuri b3 pesk Hg

Views: 1755