.: HEPTACHLOR :.
Heptaklor (heptaklor) adalah senyawa insektisida disiklopentadiena terklorinasi yang memiliki karakteristik sangat kuat dan mampu terakumulasi dalam rantai makanan. Beberapa Negara telah melarang pemakainnya, namun keberadaannya masih saja terdeteksi dalam berbagai produk pangan. Hal ini bisa terjadi karena kekuatan molekul senyawa tersebut, dan penggunaannya di masa lalu. Heptaklor dilepaskan ke lingkungan melalui rangkaian proses abiotic seperti transformasi fotokimia yang dihasilkan radikal hidroksi dan diubah bentuknya dengan kehadiran air menjadi senyawa baru seperti 1-hidroksiklorden atau heptaklor epoksida. Adapun nama- nama dagang yang sering digunakan untuk heptaklor adalah Heptagran®, Heptamul®, Heptagranox®, Heptamak®, Basaklor®, Drinox®, Soleptax®, Gold Crest H-60®, Termide®, dan Velsicol 104®.
Cara utama pemaparan heptaklor adalah melalui aplikasi terkait pernapasam atau sentuhan melalui kulit dengan debu yang mengandung heptaklor, misalnya debu dari rumah yang di dalamnya digunakan senyawa heptaklor, atau pangan terkontaminasi heptaklor. Beberapa survey menyatakan bahwa heptaklor dan atau heptaklor epoksida bisa ditemukan di berbagai kompartemen lingkungan seperti udara, air, tanah, dan endapan, juga pada sayuran, ikan, dan oraganisme akuatis, amfibi, reptile, burung dan telurnya, serta mamalia darat maupun laut.
Senyawa ini biasanya mengumpul di jaringan adipose (lemak). Dia dapat diserap melalui semua rute paparan lalu kemudian dimetabolisme. Metabolit utama seperti 1- hidroksiklorden, dan 1-hidroksi-2,3-epoksikllorden. Heptaklor epoksida dimetabolisme perlahan dan merupakan jenis metabolit paling kuat, diakumulasi di dalam jaringan adipose, tapi juga ditemukan di hati, ginjal, dan otot. Kaum perempuan cenderung lebih mudah menyimpan heptaklor epoksida daripada laki-laki. Biasanya, heptaklor pada wanita dapat ditemukan pada air susunya, oleh karena itu akan berbahaya jika air susu ini dikonsumsi oleh bayi. Kemungkinan paparan heptaklor akan masuk ke dalam bayi dan balita yang notabene daya tahan tubuhnya belum begitu kuat.
Struktur molekul heptaklor Struktur molekul heptaklor epoksida
Heptaklor atau 1,4,5,6,7,8,8-heptakloro-3a,4,7,7a-tetrahydro-1H-4,7-methanoindene; atau yang memiliki rumus molekul C10H5Cl7 merupakan senyawa yang berwarna putih atau cokelat muda pada suhu kamar, berbentuk padatan kristalin dengan bau seperti kamper, serta memiliki titik leleh pada temperature 95-96oC, namun dengan komposisi yang berbeda, ada juga yang lebur pada suhu 46-74 oC. Produk yang digunakan untuk keperluan teknis biasanya mengandung 72% heptaklor dan sisanya adalah senyawa turunannya seperti trans-klordan, dan trans-nonaklor. Produk teknis inilah yang pada umumnya digunakan sebagai pestisida. Manusia bisa mendeteksi keberadaan heptaklor pada konsentrasi minimal 0.3 mg/m3 udara. Karakteristik fsikokimia yang ada di lingkungan bersifat stabil dan mampu berubah bentuk dari heptaklor-epoksida (2,3-epoxy-1,4,5,6,7,8,8-heptakloro-2,3,3a,4,7,7a-hexahydro-4,7-endomethanoindane, atau C10H5Cl7O ) diperlihatkan pada table berikut:
Tidak diketahui sumber di alam dari senyawa heptaklor atau dengan kata lain heptaklor tidak dihasilkan secara alami. Namun, bentuk epoksida-nya tidak dihasilkan secara komersial melainkan dibentuk melalui proses transformasi biotik dan abiotic heptaklor di lingkungan. Heptaklor banyak digunakan sebagai pestisida yang terdiri dari heptaklor (22%), 1,2-dikloroklordane (13.2%), transklordane (27.5%), and cis-klordane (11.9%) — and 7 minor komponen (Tsushimoto et al., 1983). Penggunaan utama heptaklor di sektor pertanian adalah untuk membunuh hama, rayap , semut, dan serangga tanah yang terdapat dalam biji dan hasil panen dan membasmi rayap dalam kayu untuk bangunan rumah. Konsumsi heptaklor di Amerika bisa mencapai 550 ton/tahun di awal tahun 1970-an (Fendick et al., 1990).
Gambar/Foto Produk Heptaklor
Pada tahun 1980-an penggunaan produk ini dilarang di berbagai Negara. Satu-satunya izin penggunaan heptaklor di Amerika adalah untuk pengendalian semut di area transformer pembangkit dan di jaringan kabel bawah tanah. Hanya saja ternyata, heptaklor masih diproduksi untuk kepentingan ekspor. Sekitar 2028 ton klordane (dengan kandungan heptaklor 446 ton heptaklor) serta 2584 ton heptaklor teknis diekspor dari Amerika pada rentang waktu 1991-1994 (sekitar 760 ton/tahun) untuk digunakan di Negara lain sebagai pestisida, misalnya Korea mengimpor sebanyak 560 ton hingga tahun 1980 (Kim & Smith, 2001). Berdasarkan data UNEP, konsumen terbesar heptaklor adalah Amerika Selatan dan Oseania. Sementara di Negara tropis dan subtropics, heptaklor digunakan untuk penanganan proses pembibitan atau penanaman ulang. Selain itu zat ini juga banyak digunakan sebagai komponen dalam lem kayu lapis (triplek).
Reaksi transformasi abiotic selain fotokimia yang disebutkan sebelumnya, heptaklor juga dapat berubah melalui reaksi fotolisis, oksidasi, dan volatilisasi. Fototransformasi heptaklor dan epoksida-nya menjadi produk foto-isomerisasi yang memiliki kadar toksisitas dan kekuatan yang lebih besar daripada bentuk awalnya. Karena kekuatannya yang sulit untuk didegradasi secara biologi, Heptaklor tidak memiliki nilai BOD (biological Oxygen Demand) pada masa inkubasi 28 hari (MITI, 1992). Dalam kondisi anaerobic, baik heptaklor maupun heptaklor epoksida hanya memiliki nilai konversi yang sangat tidak signifikan. Lain halnya dengan nilai biodegradasi, nilai bioakmulasi yang dimiliki heptaklor dan epoksidanya cukup tinggi. Heptaklor epoksida bahkan cenderung stabil dalam air, dan ter-bio-konsentrasi secara luas dengan kadar konsentrasi mencapai 5000 µg/kg (basis basah) setelah 20 hari paparan ikan air tawar oleh kehadiran heptaklor epoksida dalam air dengan konsentrasi 1.5 µg/liter.
Pestisida organoklorin seperti heptaklor memiliki stabilitas kimia yang baik, kelarutan dalam air yang rendah, dan lipofilisitas yang tinggi, sehingga mudah terkonsentrasi bersama rantai makanan, hingga mencapai konsentrasi yang lebih tinggi pada level rantai makanan yang paling tinggi (biomagnifikasi). Keberadaan heptaklor di dalam tanah dan atmosfir meningkat pada area-area di mana heptaklor digunakan secara segnifikan, misalnya di daerah pertanian, di industry kayu lapis, dan di perumahan yang menggunakan heptaklor sebagai pembasmi rayap. Demikian halnya pula dengan kondisi di hidrosfir, selain bisa masuk di daerah yang memang menggunakannya, heptaklor bisa masuk melalui hujan, sehingga air minum, air permukaan, dan air sungai juga bisa tercemar. Selain itu air laut dan tentu saja limbah cair. Bisa dikatakan, daya sebarnya bisa jadi sangat luas. Sehingga perlu ada upaya yang signifikan untuk menghentikan produksi dan persebarannya. Walaupun sebenarnya, sampai tahun 2007 belum ada kajian secara komprehensif yang menyabutkan detail kadar bahaya yang akan diterima manusia ketika terpapar heptaklor baik melelui pernafasan, maupun makanan. Yang baru ada adalah serangkaian tes dan analisis paparan heptaklor terhadap mamalia yang diujikan di laboratorium.