No | Kategori | Jumlah |
1 | Teknologi Pengolahan Air Bersih | 104 |
2 | Teknologi Pengolahan Air Limbah | 86 |
3 | Teknologi Pengelolaan Air | 7 |
4 | Teknologi Pengelolaan Sampah | 22 |
5 | Teknologi Pemantauan Gas | 12 |
6 | Teknologi Lingkungan | 535 |
7 | Teknologi Informasi dan Komputer | 33 |
8 | Teknologi Penanganan POPs | 15 |
TOTAL | 814 |
# | Judul | Abstrak | Katakunci | Penulis | |
---|---|---|---|---|---|
141 | Beban Pencemaran Limbah Industri dan Status Kualitas Air Sungai Citarum. | Sungai Citarum beserta tiga waduk besar yaitu Saguling Cirata dan Juanda (Jatiluhur) memiliki fungsi ekonomi ekologi dan sosial yang sangat penting bagi masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta. Potensi yang demikian pentingnya tersebut terancam oleh penurunan kualitas air sungai karena beban pencemaran yang terus meningkat telah melampaui daya tampung sumber air tersebut. Beban pencemaran terbesar berasal dari limbah penduduk dan industri sehingga memerlukan prioritas penanganan utama dalam upaya pengendalian pencemaran air. Meskipun PROKASIH telah berhasil menurunkan beban pencemaran limbah industri,namun kualitas air Sungai Citarum sejak PROKASIH tahun 1989 sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung memburuk. Status kualitas air Sungai Citarum sejak tahun 1989 sampai saat ini tidak pernah memenuhi Baku Mutu Air yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah sepanjang tahun.Berdasarkan hasil simulasi model kualitas air pada sub. DPS Citarum Hulu, untuk memulihkan kualitas air sungai Citarum Hulu sampai mjemenuhi Baku Mutu Air yang ditetapkan sepanjang tahun, diperlukan pengurangan beban pencemaran organik (BOD) sebesar 85%. Oleh karena itu pengolahan limbah industri saja tidak cukup, sehingga pengolahan limbah domestik dari pemukiman harus dilakukan secara bersamaan. Selain itu diperlukan upaya peningkatan daya tampung sungai melalui upaya konservari daerah tangkapan air pada DPS Citarum. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, pembangunan sistem Pengumpulan dan Pengolahan Limbah Industri Terpusat (SPPLIT) pada sejumlah zona-zona (cluster) industri pada DPS Citarum merupakan kebijaksanaan strategis untuk menurunkan beban pencemaran limbah industri. Disamping itu upaya pemulihan kualitas air Sungai Citarum perlu ditunjang dengan upaya penegakan hukum yang konsekwen, serta komitmen semua pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan upaya pengendalian pencemaran air yang telah direncanakan secara nyata dan konsisten. | Beban Pencemaran, Pencemaran Air, Model Kualitas Air | Nana Terangna Bukit dan Iskandar A. Yusuf | |
142 | Beban Pencemaran Limbah Domestik dan Pertanian di DAS Citarum Hulu. | Daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang merupakan DAS terbesar di Jawa Barat yang mengalami tekanan yang sangat kuat akibat pemanfaatan yang melebihi daya dukungnya, yang antara lain dari kegiatan pertanian, perkebunan, pemukiman dan industri. Kegiatan pemukiman dan pertanian merupakan dua komponen utama yang pada saat ini telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air sehingga mempengaruhi nilai ekonomi terhadap output/keluaran pembangunan seperti rendahnya sistem sanitasi lingkungan yang menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang vektornya berasal dari air (water borne disease), sedimentasi sungai dan waduk, berkembangannya makrofita dan mikrofita yang merugikan lingkungan, hilangnya jenis ikan di perairan sungai serta kematian ikan budidaya di Waduk Saguling dan Cirata serta laju korosi di instalasi di instalasi PLTA menjadi lebih cepat. Hal ini disebabkan karena limbah cair domestik dan pertanian serta industri yang meningkatkan masuknya unsur hara (nutrient) yang berlebihan seperti nitrogen dan fosfor serta bahan organik lainnya yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut (DO) yang berguna bagi kehidupan ekosistem perairan dan tingginya kadar BOD, COD serta bakteri kolitinja. Oleh karena itu, untuk mencegah semakin tingginya tingkat degradasi perairan di wilayah tersebut perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu baik yang meliputi aspek teknis dan nonteknis (Peraturan dan kelembagaan), serta dapat mengakomodasi kepentingan stakeholder secara proporsional sehingga pembangunan yang ada di DAS Citarum Hulu dapat terlanjutkan. | Pencemaran, Limbah Domestik, Citarum Hulu | Hilmi Salim | |
143 | Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budidaya dan Yutrofikasi di Perairan Waduk Pada DAS Citarum. | Di waduk-waduk. yang ada di badan air sungai Citarum khususnya waduk Saguling, Cirata dan Juanda; perikanan budidaya dengan keramba jaring apung (KJA) berkembang sangat pesat; sehingga diduga telah melebihi daya dukung badan air waduk dan limbahnya telah mengancam keberlanjutan perikanan budidaya tersebut. Pada periode 5 tahun terakhir, setiap tahunnya KJA di waduk. Saguling diperkirakan menghasilkan limbah sebesar 29.868.750 kg organik yang mengandung 1.359.028 kg?N dan 214.059 kg?P; di Cirata sebesar 145.334.000 kg organik yang mengandung 6.611.787 kg?N dan 1.041.417 kg ?P, dan Saguling sebesar 14.492.250 kg organik yang mengandung 659.397 kg?N dan 103.861kg?P Dekomposisi limbah organik tersebut, selain secara langsung menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan gas-gas lain yang dapat membahayakan kehidupan organisme lain, termasuk ikan; juga meng-hasilkan nutrien yang dapat menyebabkan yutrofikasi dan mengakibatkan pertumbuhan fitoplankton secara berlebihan (blooming). Gejala tersebut telah nampak dimana dilaporkan bahwa kepadatan fitoplankton di waduk. Cirata adalah antara 44,80-62,28 x 106 sel?l-1; Saguling antara 19,03-25.39 x 106 sel?l-1 dan Juanda antara 20.04-50.42 x 106 sel?l-1 Jika "blooming" ini terus berlanjut karena sumber pencemar tidak mampu dihentikan maka badan air waduk akan didominasi oleh ?blue green algae? seperti microcystis sp dan dimasa datang satu demi satu ke tiga waduk. yang ada di DAS Citarum akan berubah menjadi ?comberan raksasa? yang di saat ada sinar matahari perairan menjadi hijau pekat berlendir menjijikan, dan disaat mulai gelap disana sini timbul gelembung-gelembung gas. | Limbah Organik, Keramba Jaring Apung, Yutrofikasi | Yudhi Soetrisno Garno | |
144 | Prospek dan Permasalahan Dalam Transfer Teknologi Lingkungan di Indonesia | Teknologi sebagai salah satu alat dalam melaksanakan pembangunan ternyata menjadi salah satu penyebab utama dari kerusakan lingkungan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan, Teknologi juga merubah orientasinya yang semula untuk kepentingan ekonomi semata menjadi berorientasi pada kelestarian fungsi dan kemampuan lingkungan. Untuk itu dikembangkan teknologi produksi bersih yang pada dasarnya merupakan upaya pengurangan dampak pada seluruh daur suatu produk teknologi, sejak pemilihan bahan baku produksi sampai dengan pembuangan limbah. Agenda 21 mengamanatkan agar negara-negara maju dapat membantu negara-negara berkembang dalam meningkatkan kualitas produk industrinya melalui transfer teknologi termasuk kemudahan akses informasi dan promosi teknologi tradisional serta peningkatan kapasitas endogenousnya. Pada kenyataannya, proses transfer teknologi tersebut dirasakan lebih banyak menguntungkan kepentingan negara maju bahkan cenderung dirasakan ketidakadilan atas kepemilikan sumberdaya, pengetahuan dan teknologi setempat. Dilain pihak, adanya kemampuan negara berkembang dalam mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang lebih sesuai dengan kondisi, potensi dan kebutuhannya perlu mendapat perhatian, utamanya di dalam aspek pendanaan untuk diseminasi teknologi di dalam negara berkembang itu sendiri. Pada dasarnya diseminasi teknologi tersebut juga merupakan suatu bentuk transfer teknologi. Untuk iru, perlu kiranya dikoreksi praktek-praktek transfer teknologi yang selama ini terjadi dengan mencari sistem, mekanisme serta kelembagaan yang lebih baik yang dapat mendukung terciptanya kegiatan transfer teknologi ramah lingkungan yang menguntungkan semua pihak. | Teknologi Lingkungan, Transfer Teknologi Ramah Lingkungan, Desiminasi Teknologi | Tusy Augustine Adibroto | |
145 | Pembebanan dan Distribusi Bahan Organik di Waduk Cirata. | Pemanfaatan Waduk Cirata untuk pengembangan budidaya ikan sistem karamba jaring apung (KJA) cenderung berlebihan, sehingga menimbulkan dampak beban pencemaran bahan organik yang cukup tinggi. Penelitian pembebanan bahan organik dan distribusinya telah dilakukan di Waduk Cirata pada bulan Agustus tahun 2000, untuk mengetahui kontribusi sumber-sumber muatan organik dan bebannya pada komponen ekosistem. Beban organik allochtonus dari inlet (S.Citarum) mencapai 0,234 kg.dt-1 atau 7.393 ton per tahun, sedangkan beban organik autochtonus dari sistem KJA rata-rata 6.556 ton per tahun. Pada kolom air terdapat bahan organik total yang berkisar antara 13,9?22,7 mg.l-1, dan pada sedimen terdapat bahan organik total rataan per wilayah antara 152,5?188,6 mg.berat kering g-1 sedimen. | Waduk Cirata, Bahan Organik, Sedimen, Keramba Jaring Apung | Lukman dan Hidayat | |
146 | Kelas Kesesuaian Lahan Sebagai Dasar Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan di DAS Citarum Hulu. | Lahan tropika seperti halnya kebanyakan lahan di Indonesia harus dikelola secara bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air agar swasembada pangan dapat lebih dimantapkan lagi. Klas Kemampuan Lahan merupakan pedoman yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air dan dapat diguankan sebagai pedoman untuk perencanaan pengembangan pertanian secara umum. Sedangkan pengembangan pertanian berskala usaha hendaknya harus berdasarkan pada kelas kesesuaian lahan suatu wilayah yang akan dikembangkan untuk suatu usaha pertanian agar tidak terjadi kerusakan lahan yang dapat m,enimbulkan kerugian jangka panjang baik secara ekonomi mauspun lingkungan. Pengetahuan tentang perencanaan pembangunan pertanian yang berasas pada Kelas Kemampuan Lahan dan Kelas Kesesuaian Lahan suatu wilayah dapat diterapkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama wilayah DAS Citarum Bagian Hulu yang dalam kenyataannya telah mengalami kerusakan yang sangat berat dan akan berakibat pada kemampuan daya dukung wilayah dan menurunnya kualitas Danau multiguna seperti Saguling, Cirata dan Jatiluhur. | Kelas Lahan, Konservasi, Lingkungan | Sabaruddin Wagiman Tjokrokusumo | |
147 | Analisis Peraturan Perundangan Tentang Daerah Resapan Air di DAS Citarum Hulu. | Pada skala nasional DAS Citarum tergolong DAS super prioritas. Khusus DAS Citarum Hulu mempunyai fungsi utama sebagai perlindungan tata air tetapi dalam perkembangannya mempunyai fungsi ekonomi yang sangat strategis. Perkembangan kota dan jumlah penduduk di dalam DAS Citarum Hulu menyebabkan kebutuhan akan air bersih meningkat sangat tajam. Sebagian besar kebutuhan tersebut diambil dari air tanah. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan (pengambilan) air tanah dan di lain pihak kualitas ruang hidrologinya semakin menurun, akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara pengambilan dengan pemasokan (imbuhan) air tanah. Akibat ketidakseimbangan tersebut antara lain adalah turunnya muka air tanah, turunnya produksi sumur bor, rekuensi banjir di musim hujan dan frekuensi kekeringan di musim kemarau semakin besar. Oleh karena itu diperlukan adanya konservasi daerah resapan air di DAS Citarum Hulu dari desakan perkembangan kawasan urban. Salah satu upaya untuk mendukung konservasi daerah resapan air tersebut adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundangan baik tingkat nasional maupun kabupaten. Beberapa hal penting berkaitan dengan perauran perundangan mengenai daerah resapan air di DAS Citarum Hulu adalah : a) Sebenarnya peraturan atau kebijaksanaan untuk mempertahankan fungsi ekologi daerah resapan air sudah memadai, tetapi sering informasi dan batasannya kurang jelas dan rinci; b) Kurang terkendalinya pembangunan pemukiman oleh perorangan karena umumnya peraturan diberlakukan untuk pembangunan pemukiman dalam skala besar oleh pengembang (developer) serta peraturan/ kebijaksanaan yang dibuat sering belum dilengkapi peta yang representatif dan applicable; c)Kurangnya pranata (sistem) yang baik dan kuat, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang terbatas, serta biaya dan waktu yang terbatas pula sehingga dalam proses pelaksanaan dan pengawasannya sering terjadi enyimpangan. | Daerah Resapan Air, DAS Citarum Hulu | Mardi Wibowo | |
148 | Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, Konsep Pembangunan Berkelanjutan. | Upaya pengelolaan DAS terpadu di Indonesia telah lama diterapkan dengan memperkenalkan berbagai kegiatan yang bercirikan lintas sektoral dan multidisipliner, sebagai contoh adalah pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu di DAS Brantas, Jratunseluna, dan yang kemudian direncanakan untuk diimplementasikan pada DAS-DAS lain di seluruh Indonesia. Namun karena kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi dan banyaknya DAS yang harus ditangani, serta menyangkut kendala teknis dan non-teknis lainnya yang harus disempurnakan, maka banyak DAS yang belum dapat tertanggani dengan baik, bahkan yang terjadi adalah kerusakan DAS semakin meluas dan semakin parah. Oleh karena itu dalam pengelolaan DAS secara terpadu harus berazaskan : (1) pemanfaatan sumberdaya alam (hutan, tanah dan air) dengan memperhatikan terhadap perlindungan lingkungan; (2) pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sekoral; (3) peningkatan kesejahteraan rakyat; (4) keterpaduan dimulai sejak dalam perencanaan pengelola DAS terpadu. | Daerah Aliran Sungai (DAS), Ekosistem, Pengelolaan DAS | Sudaryono | |
149 | Sedimentasi dan Dampaknya Pada DPS Citarum Hulu. | Pemanfaatan air dan lahan dan pengembangan suatu daerah aliran sungai selalu menyebabkan berbagai masalah teknis dan lingkungan. Begitu pula dengan lebih mendalami masalah proses erosi dan sedimentasi yang terjadi, merupakan hal yang sangat penting dalam memecahkan masalah dasar yang berkaitan dengan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi dalam suatu daerah aliran sungai. Proses sedimentasi yang komplek agar dapat dipecahkan, untuk itu sungai harus dipandang dari berbagai unit kelompok yang terintegrasi dalam suatu ekosistem. Dengan pendekatan pengukuran dan monitoring, serta penggabungan dengan pendekatan sistem model spasial dapat dipecahkan masalah yang timbul di per sungaian dan waduk, ehingga antisipasi terhadap berkurangnya umur waduk dapat diatasi. Dengan prediksi erosi dan sedimentasi secara spasial dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas daerah-daerah mana saja yang terkena tingkat erosi-sedimentasi yang tinggi, sehingga daerah mana saja dalam DAS yang perlu konservasi dan prioritas penanggulangannya. Dan konservasi yang tepat pada DAS Citarum hulu dapat menurunkan laju sedimentasi, sehingga diharapkan umur waduk Saguling akan lebih panjang. | Erosi, Sedimentasi DAS, Konservasi dan Penanggulangan DAS | Muhamad Arief Ilyas | |
150 | Model Pembatasan Beban Pencemar Untuk Pengelolaan Kualitas Sungai Citarum. | Daerah tangkapan (DAS) Citarum hulu mempunyai luas sekitar 177.100 ha, meli-puti kota Bandung dan kabupaten Bandung yang terletak di danau tua. Sungai Ci-tarum selain kegunaannya sebagai buangan limbah pabrik dan penduduk disekitar sungai, juga berfungsi sebagai penggerak listrik dan perikanan (jarring apung) di waduk Saguling dihilinya. Oleh karena kompleksnya pemanfaatan sungai ini, maka diperlukan suatu pendekatan pengelolaan di DAS Citarum tersebut. Penelitian ini tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas sungai Citarum dengan pendekatan simulasi model, yaitu simulasi-simulasi pengelolaan DAS Citarum. Penetapan model dengan tiga sub-model yaitu, hidrograf aliran, debit beban (COD, BOD, T-N, T-P, and NH3), dan polutegraf aliran dengan model tangki. Model dikalibrasi dari debit serta kualitas air harian sungai Citarum yang terukur di stasion Nanjung .Dari model kelihatan hidrograf dan polutograf aliran, cendrung sama antara model den-gan pengukuran, sehingga model layak untuk pendugaan pemasukan beban yang kualitas sungai masih baik pada debit minumum. Dari hasil simulasi agar kualitas-nya tetap terjaga, maka beban masukan dari industri terutama tekstil dan pemuki-man sebaiknya dikurangi (treatment) sekitar 85 % untuk COD, BOD dan T-P dan 45 % untuk NH3 dan T-N untuk pemukiman pada kejadian debit minumum. | Kualitas Air, Debit Beban, Model, Hydrograf, Polutegraf | Eko Harsono, Tuahta Tarigan dan Hendro | |
151 | Agenda 21, GEF dan Alih Teknologi. | Agenda 21 adalah program aksi dunia untuk pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh 178 Negara, termasuk Indonesia. Agenda 21 ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama tentang program yang berkaitan dengan dimensi sosial ekonomi, bagian kedua tentang pengelolaan sumberdaya dan pencemaran, bagian ketiga tentang program untuk penguatan kelompok utama dan keempat program pengembangan sarana implementasi. Pada bagian keempat ini antara lain dicantumkan komitmen negara maju untuk memberikan 0,7% GNP nya bagi negara berkembang untuk pengelolaan lingkungan. Untuk mengimplementasikan komitmen negara maju itu antara lain dibangun organisasi Global Environmental Facilities (GEF), untuk melaksanakan pemikiran yang dikenal dengan semboyan berfikir global dan bertindak lokal ( think globally act locally). Ada tiga badan dunia yang melaksanakan GEF ini yaitu UNDP, UNEP dan Bank Dunia. UNDP menyelanggarakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan manusia dan kelembagaan agar pemerintah dan non pemerintah mampu melindungi lingkungan global. UNEP menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan bantuan serta prakarsa global dan pada Science and Technology Advisory Panel (STAP) yaitu kelompok yang memberikan masukan bagi kebijakan GEF dan membahas berbagai proyek yang didanai melalui GEF. Sedangkan Bank Dunia meneyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan investasi. Dalam kaitannya dengan alih teknologi, Agenda 21 lebih menekankan pada pengembangan sarana untuk terjadinya alih teknologi, tetapi tidak secara eksplisit memprogramkan alih teknologi itu sendiri. Untuk itu negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus menyusun siasatnya sendiri yaitu dengan merubah faktor-faktor kontekstual yang dapat diubah, seperti misalnya kepranataannya, mempengaruhi pihak pasokan atau mempengaruhi pihak permintaan. Jelas bahwa alih teknologi tidak akan dengan sendirinya terjadi, juga tidak dapat dilakukan hanya dengan mendatangkan artifak saja. | Agenda 21, Global Environmental Facilities, Alih Teknologi | Tjuk Kuswartojo | |
152 | Perkembangan Iptek Dalam Pengelolaan Lingkungan. | Eko-teknologi merupakan strategi baru yang inovatif dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini merupakan prespektif pendekatan yang menjelaskan interdependensi sistem teknologi pengelolaan lingkungan dengan sistem biogeofisik. Pendekatan ini difokuskan pada peran teknologi lingkungan dalam meminimisasikan limbah dan memaksimalkan daur ulang bahan dan enerji. Sejauh mungkin sistem produksi mendekati sistem pencegahan kehilangan bahan yang bermanfaat maupun energi. Bersifat sistemaik, berorientasi ke masa depan, serta efisiensi sik1us melalui pemanfaatan sumber daya alam, energi dan limbah yang dibuang menjadi basis model pengintegrasian sistem biogeofisik kedalam sistem eko-teknologi atau sebaliknya Tuntutan akan kepedulian kerjasama warga masyarakat dan pengambil keputusan menegaskan bahwa eko- eknologi bukan sekedar suatu pendekatannn berpikir atau suatu alat analisis, namun harus ditumbuhkan sebagai etika bagi masyarakat industri, masyarakat luas dan pelaku dalam pengambilan keputusan untuk kelangsungan kehidupan masa depan. Perubahan pradigma dimana lingkungan alam sebagai penyedia sumber bahan baku serta tempat pembuangan yang tidak terbatas menjadi keterpaduan antara sistem teknologi dan sistem ekologi dalam keberlajutan masa depan. | Eko-Teknologi, Antropogenik, Biogeofisik, Minimisasi, Globalisasi | Azis Djajadiningrat | |
153 | Teknologi Usahatani Konservasi Terpadu Konsep Pembangunan Berbasis Keserasian Lingkungan. | Sebagian besar sumber daya lahan di Indonesia merupakan lahan kering yang memiliki potensi untuk usaha pertanian. Pada umumnya kawasan lahan kering tersebut memiliki topografi dari landai sampai terjal, sehingga apabila dimanfaatkan untuk usahatani sangat rentan terhadap erosi. Tingkat erosi yang tinggi merupakan masalah serius terhadap kelestarian sumberdaya lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dibagian hulu, dan menimbulkan pengaruh negatif di DAS bagian hilir. Usahatani pada lahan kering menghadapi problema yang sangat kompleks, beragam dan beresiko tinggi, oleh karena itu diperlukan penelitian dengan strategi pendekatan pengelolaan secara terpadu. Penelitian dan pengembangannya melibatkan berbagai disimplin ilmu (interdisipliner). institusi (interinstitusi) dan petani sebagai pengelola utamanya. Pengembangan sistem usaha tani konservasi terpadu pada sub DAS Prambanan hulu dengan tujuan mencari solusi pengembangan teknologi alternatif serta upaya mengendalikan erosi, ternyata telah mendapat respon positif baik oleh petani binaan maupun non-binaan. | Usaha tani Konservasi, Daerah Aliran Sungai, DAS | Sudaryono | |
154 | Uji Aktivitas Proteolitik Mikroba Dari Iimbah Cangkang Udang Pada Proses Pembuatan Chitin. | Dalam penelitian ini telah dilakukan uji aktivitas proteolitik mikroba pada proses pembuatan chitin yang menggunakan bahan baku limbah cangkang rajungan. Bakteri proteolitik yang digunakan berasal dari hasil isolasi bakteri yang terdapat pada pembusukan limbah cangkang udang. Dari hasil analisa yang dilakukan terhadap kultur cair hasil fermentasi yang mengandung serbuk cangkang rajungan diketahui bahwa koloni bakteri berasal dari limbah cangkang udang mempunyai aktivitas enzim sebesar 0,006 U (Unit/ml/menit), dengan kemampuan menurunkan kadar protein (deproteinasi) sebesar 31,90%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar proses pembuatan chitin dari limbah cangkang rajungan secara biologis, yang dipandang sebagai proses yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan proses secara kimiawi. | Chitin, Cangkang Udang, Cangkang, Rajungan, Aktivitas Proteolitik Bakteri | Nida Sopiah dan Teguh Prayudi | |
155 | Sistem Jaringan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Pantai. | Lingkungan pantai merupakan suatu kawasan yang spesifik, dinamik, memiliki kekayaan habitat yang beragam di darat maupun di laut. Luas lahan kawasan pantai sangat terbatas padahal pemanfaatannya semakin lama semakin meningkat sehingga sering terjadi konflik kepentingan antar sektor yang membutuhkannya. Di lain pihak belum ada dukungan data, informasi dan koordinasi antar instansi yang sistematis, efektif dan efisien dalam masalah pengelolaan lingkungan pantai. Selama ini pengumpulan, penyimpanan, pengolahan data dan informasi serta penentuan kebijakan dilakukan secara sektoral oleh berbagai instansi yang terkait dan sering tidak terjadi koordinasi dan keterpaduan program dan kebijakan. Ditambah lagi masih belum ada kepastian siapa yang berwenang dalam perencanaan dan pengelolaan lingkungan pantai (belum ada sistem atau model jaringan kelembagaan yang baik). Untuk itu dibutuhkan komitmen dan peran serta stakeholders di daerah baik di tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan desa-desa, untuk bersama-sama aktif dalam pengelolaan sumberdaya pantai, yang kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan yang mengatur kewenangan masing-masing. Selain itu diperlukan mekanisme koordinasi yang jelas dan tegas baik koordinasi horisontal maupun vertikal serta melibatkan peran aktif masyarakat luas dalam mekanisme pengawasan | Sistem Jaringan Kelembagaan, Lingkungan Pantai, Pengelolaan Sumberdaya Alam | Mardi Wibowo | |
156 | Perencanaan Pengembangan Kawasan Pesisir. | Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik dibandingkan dengan kawasan yang lain.. Wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling berinteraksi. Pembangunan dengan memanfaatkan sumberdaya pantai tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologis akan dapat merusak fungsi ekosistem pantai. Pengembangan wilayah pada kawasan pesisir sebagaimana pengembangan wilayah pada kawasan lainnya, mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui perencanaan pengembangan dalam suatu proses yang didalamnya terdapat berbagai pendekatan yang harus diperhatikan. Dewasa ini pembangunan pada kawasan pantai berkembang sangat pesat dan ditunjukkan dengan adanya multi kegiatan, misalnya usaha tambak, nelayan, pengusaha industri, hotel dan rekreasi wisata, dan usaha-usaha. Dengan semakin meningkat dan kompleksitas kegiatan didalamnya maka perlu dilakukan perencanaan pengembangan kawasan pantai/pesisir. Pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) merupakan kunci bagi pembangunan melalui pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang sangat pelik dan kompleks. | Pengeolaan Kawasan Pesisir Terpadu | Achmad Djunaedi dan M. Natsir Basuki | |
157 | Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Kawasan Pesisir | Lahan pesisir sesuai dengan ciri-cirinya adalah sebagai tanah pasiran, dimana dapat dikategorikan tanah regosal seperti yang terdapat di sepanjang pantai selatan berupa bukit ? bukit pasir terbentuk dari pasir pantai berasal dari abu vulkanik.Disamping sistem tanah lahan kawasan pesisir yang mempunyai sifat marginal, sistem atmosfernya, juga mempunyai ciri kecepatan angin yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan tenaganya untuk menaikkan air sumur melalui kincir angin. Usaha budidaya pertanian pada awalnya selalu memperhitungkan kesesuaian lahan agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Artinya secara potensi alam, proses interaksi hubungan komponen dalam ekosistem pertanian dapat berlanjut tanpa input bantuan material dari manusia. Namun makin hari lahan yang sesuai potensinya makin berkurang dan jarang. Hal ini mendorong manusia dalam usaha proses produksi biomasa pertanian memilih lahan alternatif yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan, sehingga diperlukan input teknologi. Peluang pemanfaatan teknologi di lahan kawasan pesisir diantaranya berupa teknologi perbaikan sifat fisik, kimiawi dan organisme tanah agar interaksi tanah ? air ? tanaman dapat terwujud dengan baik. Wujud teknologi lain adalah interaksi antara tanaman dan atmosfir, karena di lahan kawasan pantai perlu mendapatkan perhatian adalah tersedianya cukup energi matahari, angin dan energi biomas. | Lahan Marjinal Pesisir, Pertanian | Sunarto Goenadi | |
158 | Pengembangan Dan Pemberlanjutan Teknologi Pemantauan Lingkungan Perairan Laut. | Sebagai sebuah infrastruktur yang bernilai investasi tidak sedikit, upaya menjaga kesinambungan sistem Seawatch sangatlah penting.Secara umum permasalahan yang muncul dalam pengoperasian dan pengembangan sistem ini dapat dikategorikan sebagai masalah teknis dan non-teknis. Secara teknis masalah yang terjadi pada sistem buoy sebagian besar disebabkan oleh faktor ketidak-akraban lingkungan laut bagi sistem elektronik. Sementara pada aspek teknis pada pusat kendali lebih kepada aspek keandalan (reliability) sistem dan masalah penyebaran termasuk pengaturan aksesnya. Adapun faktor non-teknis utama adalah aspek yang berkaitan dengan ekonomi dalam arti apakah nilai tambah yang dihasilkan sistem Seawatch sebanding dengan biaya pengadaan, pengembangan, dan operasionalnya. Dalam menjaga kesinambungan ke depan suatu upaya bagaimana menekan biaya operasional dan meningkatkan manfaat dan kemanfaatan data dan atau informasi yang dihasilkan menjadi penting. Peningkatan kemampuan pada aspek teknik-praktis-operasional dan peningkatan pemahaman (meaning atau know-how) pada sistem pemantauan diperlukan agar diperoleh pilihan-pilihan pengukuran dan koleksi data yang lebih ekonomis. Sementara penyebaran data dan informasi yang ada perlu segera dilakukan dalam kaitan memberi manfaat dalam jangka panjang khususnya dalam pembangkitan arti pentingnya data dan informasi kelautan. | Efisiensi, Manfaat, Sistem Seawatch, Berkesinambungan | Wahyu Purwanta | |
159 | Teknologi Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. | Dalam kegiatan operasional di Pabrik Kelapa Sawit, disamping akan dihasilkan produk utama (Main Product) berupa CPO dan PKO, juga akan dihasilkan produk sampingan (By-Product), baik berupa limbah padat maupun limbah cair dan juga polutan ke udara bebas. Berdasarkan jenis dan komposisi limbah di atas diketahui bahwa limbah cair memiliki kontribusi yang besar, yaitu antara 55% sampai 67% dari total TBS yang diolah. Limbah Pabrik Kelapa Sawit memiliki potensi nutrisi yang tinggi sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan tanaman. Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LC PKS), Janjang Kosong, Kompos dan Abu Janjang mampu berperan sebagai pengganti pupuk konvensional (pupuk anorganik) yang murah dan dengan kandungan unsur hara (nutrisi) yang cuku memadai untuk menggantikan sumber nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Pemilihan bentuk dan metode aplikasi limbah harus dengan memperhatikan tyopografi, jenis tanah, jarak areal aplikasi dari PKS, biaya serta faktor lingkungan. | CPO, PKO, Kelapa Sawit | Henry Loekito | |
160 | Identifikasi Kualitas Gas SO2 Di Daerah Industri Pengecoran Logam Ceper. | Di Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten telah lama berkembang industri pengecoran logam. Untuk mengantisipasi pengeruh aktifitas industri tersebut terhadap kualitas udara disekitarnya, khususnya konsentrasi SO2 maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa konsentrasi gas SO2 udara ambient di wilayah pengecoran logam masih jauh dibawah nilai ambang batas yang diperlukan, sehingga keberadaannya tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat disekitarnya. | Kualitas SO2, Udara Ambien, Pengecoran Logam | Wiharja |